Senin, 04 Agustus 2008

TEKNIK BARU SUPERVISI KLINIS


Ditulis pada Mei 21, 2008 oleh sunartombs


Apa yang terbayang dibenak para guru ketika mendengar besok pengawas sekolah akan mengadakan supervise kelas? Supervisi kelas adalah serangkaian kegiatan yang akan dilakukan oleh pengawas untuk mengawasi tentang : setumpuk pembuatan administrasi kelas, akan diawasi dan dilihat kelemahan-kelemahannya selama mengajar, setelah itu akan menerima banyak nasehat yang berkaitan dengan tugas mengajar maupun perilaku guru pada umumnya.

Kehadiran pengawas atau Kepala Sekolah yang akan melakukan supervise kelas merupakan hantu yang sangat menakutkan bagi guru selama ini. Dalam hati para guru mengatakan, “Memang saya sudah lama mengajar di depan kelas, namun demikian saya akui memang banyak hal yang seharusnya saya lakukan tetapi belum dapat saya lakukan dengan maksimal. Sebenarnya saya malu jika harus dilihat kekurangan-kekurangan saya saat mengajar”. Demikian kira-kiran yang dirasakan para guru selama ini.

Di sisi lain, para pengawas atau Kepala Sekolah untuk kegiatan supervisi kelas juga merupakan kegiatan yang dirasakan sangat membingungkan. Perasaan canggung atau sungkan muncul ketika mengamati para guru di dalam kelas saat mengajar. Perasaan itu muncul dikarenakan Pengawas atau Kepala Sekolah sudah tahu dengan pasti situasi hati para gurunya saat di awasi dalam mengajar. Atau mungkin ada beberapa pengawas atau Kepala Sekolah justru sebenarnya tidak begitu memahami berbagai permasalahan yang mungkin muncul saat melakukan supervise kelas, sehingga takut melakukannya. Atau bahkan sebenarnya beberapa Pengawas atau Kepala Sekolah tidak lebih mampu dibanding para guru dalam hal proses belajar mengajar.Dua permasalahan besar tersebut selalu muncul di sekolah-sekolah. Namun sayang masing-masing pihak tidak berusaha untuk mengurai permsalahan tersebut. Guru di satu sisi malu untuk mengungkapkan apa sebenarnya yang menjadi kendala dalam dirinya saat dilakukan supervise kelas. Di sisi lain Pengawas atau Kepala Sekolah juga seakan menjaga jarak agar nampak lebih wibawa.






Teknik Baru DBE2

Melakukan sebuah terobosan baru memecah kebekuan yang terjadi dalam supervisi kelas selama ini. Program yang berlebel BPS (Bantuan Profesional Sekolah) memberikan berbagai teknik baru dalam melakukan supervise kelas. Teknik-teknik yang dilaksanakan dalam BPS dapat diadopsi untuk digunakan dalam supervise kelas, sehingga supervise kelas menjadi lebih “bersahabat” tidak menakutkan bagi guru, tetapi justru merupakan hal yang dinanti-nanti oleh para guru.Ada 3 tahapan dalam melaksanakan supervise kelas yang baik:1. Tahap sebelum melakukan supervise kelas2. Tahap Pelaksanaan Supervisi Kelas3. Tahap setelah supervise kelas.Pada tahap sebelum supervise kelas, hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang pengawas atau kepala sekolah adalah sebagai berikut :

1. Buatlah kesepakatan kapan akan dilakukan supervise kelas dengan guru yang bersangkutan
2. Diskusikan materi pelajaran apa yang akan diajarkan pada saat supervise kelas.
3. Bantulah dalam membuat persiapan mengajar dengan memberikan masukan-masukan yang lebih baik.
4. Yakinkan pada guru yang bersangkutan bahwa kedatangan anda (supervisor) bukan akan menilai atau mengawasi namun anda datang akan memberikan bantuan teknis yang diperlukan oleh guru.
5. Buatlah kesepakatan untuk membagi peran antara anda (supervisor) dengan guru.

Anda dapat memposisikan diri dalam 3 peran :
a. Sebagai Tim Pengajar bersama-sama guru
b. Sebagai asisten guru yang sedang mengajar, misalnya bertugas membagikan lembar kerja, ikut mengkondisikan siswa dalam kelompok, membantu dalam kerja kelompok dsb
c. Sebagai pengamat pada tahap pelaksanaan supervise kelas, hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang pengawas atau kepala sekolah adalah sebagai berikut :
1. Datanglah pagi sebelum guru masuk di dalam kelas untuk melakukan “kontrak” ulang tentang: langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan, peran masing-masing yang akan dilakukan, dan pengorganisasian waktu.
2. Masuklah ke dalam kelas bersama-sama dengan guru yang bersangkutan. Kalau supervisor masuk ke dalam kelas belakangan maka akan menganggu konsentrasi anak pada saat proses pembelajaran, dan juga mungkin menimbulkan rasa takut.
3. Mintalah guru yang bersangkutan untuk memperkenalkan diri anda (jika belum kenal) bahwa anda datang di kelas tersebut akan membantu dalam proses pembelajaran agar tidak menimbulkan rasa penasaran bagi anak.
4. Sambil memerankan peran anda dalam proses pembelajaran tersebut, jangan lupa tetap membuat catatan-catatan kecil tentang kelebihan-kelebihan maupun kekurangan-kekurangan yang terjadi selama proses pembelajaran.
5. Jangan sekali-sekali mengambil alih peran guru untuk anda kuasai.

Pada tahap setelah supervise kelas, hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang pengawas atau kepala sekolah adalah sebagai berikut:Lakukanlah diskusi bersama guru dengan mematuhi 5 langkah berikut :
1) Tunjukkan sikap menghargai (tuliskan komentar anda dibawah ini)
2) Tanyakan refleksi diri yang penting (tuliskan tanggapan guru tersebut dibawah ini)
3) Tanyakan peningkatan yang ingin dilakukan oleh guru tersebut (tulis tanggapan yang diberikan oleh guru tersebut)
4) Berikan saran atau arahkan diskusi ke masalah lain yang belum disebutkan yang mungkin masih bisa ditingkatkan (tuliskan saran anda dibawah)
5) Rencana tindak lanjut (tuliskan langkah-langkah selanjutnya yang diputuskan bersama) Dengan menerapkan teknik-teknik di atas diharapkan kegiatan supervisi kelas dikemudian hari dapat lebih diterima oleh guru sebagai hal yang sangatlah wajar atau bahkan merupakan hal yang dinanti-nantikan oleh para guru.

Bantuan profesional sekolah kali ini hanya menyajikan pembelajaran Bahasa Indonesia, dengan demikian peserta atau guru yang didampingi anĂ­llala guru bidang studi Bahasa Indonesia. Sehubungan di tingkat Sekolah dasar tidak ada guru Bidang studi, maka pendampingan dilakukan oleh guru kelas.

Purworejo, 2-4 April 2008
Ditulis oleh : Sunarto, DLC DBE2 USAID Jawa Tengah

Minggu, 03 Agustus 2008

PENELITIAN TINDAKAN KELAS


Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)

PENGERTIAN
Classroom action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian “riset-tindakan-riset-tindakan- …”, yang dilakukan secara siklik, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua di antaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama.

Action research termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. Action research berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general). Action research lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai latar yang mirip dengan yang dimliki peneliti.

Perbedaan antara penelitian formal dengan classroom action research disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan antara Penelitian Formal dengan Classroom Action Research
Penelitian Formal
Classroom Action Research
Dilakukan oleh orang lain
Dilakukan oleh guru/dosen
Sampel harus representatif
Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan
Instrumen harus valid dan reliabel
Instrumen yang valid dan reliabel tidak diperhatikan
Menuntut penggunaan analisis statistik
Tidak diperlukan analisis statistik yang rumit
Mempersyaratkan hipotesis
Tidak selalu menggunakan hipotesis
Mengembangkan teori
Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung

MODEL - MODEL ACTION RESEARCH
Model Kurt Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari berbagai model action research, terutama classroom action research. Dialah orang pertama yang memperkenalkan action research. Konsep pokok action research menurut Kurt Lewin terdiri dari empat komponen, yaitu : (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen itu dipandang sebagai satu siklus.

Model Kemmis & Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan Kurt lewin seperti yang diuraikan di atas, hanya saja komponen acting dan observing dijadikan satu kesatuan karena keduanya merupakan tindakan yang tidak terpisahkan, terjadi dalam waktu yang sama

MASALAH CAR
Berikut ini merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada saat menentukan masalah CAR.
Banyaknya Masalah yang Dihadapi Guru
Setiap hari guru mengahadapi banyak masalah, seakan-akan masalah itu tidak ada putus-putusnya. Oleh karena itu guru yang tidak dapat menemukan masalah untuk CAR sungguh ironis. Merenunglah barang sejenak, atau ngobrollah dengan teman sejawat, Anda akan segera menemukan kembali seribu satu masalah yang telah merepotkan Anda selama ini.

Tiga Kelompok Masalah Pembelajaran
Masalah pembelajaran dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu (a) pengorganisasian materi pelajaran, (b) penyampaian materi pelajaran, dan (c) pengelolaan kelas. Jika Anda berfikir bahwa pembahasan suatu topik dari segi sejarah dan geografi secara bersama-sama akan lebih bermakna bagi siswa daripada pembahasan secara sendiri-sendiri, Anda sedang berhadapan dengan masalah pengorganisasian materi. Jika Anda suka dengan masalah metode dan media, sebenarnya Anda sedang berhadapan dengan masalah penyampaian materi. Apabila Anda menginginkan kerja kelompok antar siswa berjalan dengan lebih efektif, Anda berhadapan dengan masalah pengelolaan kelas. Jangan terikat pada satu kategori saja; kategori lain mungkin mempunyai masalah yang lebih penting.

Masalah yang Berada di Bawah Kendali Guru
Jika Anda yakin bahwa ketiadaan buku yang menyebabkan siswa sukar membaca kembali materi pelajaran dan mengerjakan PR di rumah, Anda tidak perlu melakukan CAR untuk meningkatkan kebiasaan belajar siswa di rumah. Dengan dibelikan buku masalah itu akan terpecahkan, dan itu di luar kemampuan Anda. Dengan perkataan lain yakinkan bahwa masalah yang akan Anda pecahkan cukup layak (feasible), berada di dalam wilayah pembelajaran, yang Anda kuasai. Contoh lain masalah yang berada di luar kemampuan Anda adalah: Kebisingan kelas karena sekolah berada di dekat jalan raya.

Masalah yang Terlalu Besar
Nilai UAN yang tetap rendah dari tahun ke tahun merupakan masalah yang terlalu besar untuk dipercahkan melalui CAR, apalagi untuk CAR individual yang cakupannya hanya kelas. Faktor yang mempengaruhi Nilai UAN sangat kompleks mencakup seluruh sistem pendidikan. Pilihlah masalah yang sekiranya mampu untuk Anda pecahkan.

Masalah yang Terlalu Kecil
Masalah yang terlalu kecil baik dari segi pengaruhnya terhadap pembelajaran secara keseluruhan maupun jumlah siswa yang terlibat sebaiknya dipertimbangkan kembali, terutama jika penelitian itu dibiayai oleh pihak lain. Sangat lambatnya dua orang siswa dalam mengikuti pelajaran Anda misalnya, termasuk masalah kecil karena hanya menyangkut dua orang siswa; sementara masih banyak masalah lain yang menyangkut kepentingan sebagian besar siswa.

Masalah yang Cukup Besar dan Strategis
Kesulitan siswa memahami bacaan secara cepat merupakan contoh dari masalah yang cukup besar dan strategis karena diperlukan bagi sebagian besar mata pelajaran. Semua siswa memerlukan keterampilan itu, dan dampaknya terhadap proses belajar siswa cukup besar. Sukarnya siswa berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan ketidaktahuan siswa tentang meta belajar (belajar bagaimana belajar) merupakan contoh lain dari masalah yang cukup besar dan strategis. Dengan demikian pemecahan masalah akan memberi manfaat yang besar dan jelas.

Masalah yang Anda Senangi
Akhirnya Anda harus merasa memiliki dan senang terhadap masalah yang Anda teliti. Hal itu diindikasikan dengan rasa penasaran Anda terhadap masalah itu dan keinginan Anda untuk segera tahu hasil-hasil setiap perlakukan yang diberikan.

Masalah yang Riil dan Problematik
Jangan mencari-cari masalah hanya karena Anda ingin mempunyai masalah yang berbeda dengan orang lain. Pilihlah masalah yang riil, ada dalam pekerjaan Anda sehari-hari dan memang problematik (memerlukan pemecahan, dan jika ditunda dampak negatifnya cukup besar).

Perlunya Kolaborasi
Tidak ada yang lebih menakutkan daripada kesendirian. Dalam collaborative action reseach Anda perlu bertukar fikiran dengan guru mitra dari mata pelajaran sejenis atau guru lain yang lebih senior dalam menentukan masalah.

IDENTIFIKASI, PEMILIHAN, DESKRIPSI, DAN RUMUSAN MASALAH

Identifikasi Masalah
Dalam mengidentifikasikan masalah, Anda sebaiknya menuliskan semua masalah yang Anda rasakan selama ini.

Pemilihan Masalah
Anda tidak mungkin memecahkan semua masalah yang teridentifikasikan itu secara sekaligus, dalam suatu action research yang berskala kelas. Masalah-masalah itu berbeda satu sama lain dalam hal kepentingan atau nilai strategisnya. Masalah yang satu boleh jadi merupakan penyebab dari masalah yang lain sehingga pemecahan terhadap yang satu akan berdampak pada yang lain; dua-duanya akan terpecahkan sekaligus. Untuk dapat memilih masalah secara tepat Anda perlu menyusun masalah-masalah itu berdasarkan kriteria tersebut: tingkat kepentingan, nilai strategis, dan nilai prerekuisit. Akhirnya Anda pilih salah satu dari masalah-masalah tersebut, misalnya “Siswa tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain.”

Deskripsi Masalah
Setelah Anda memilih salah satu masalah, deskripsikan masalah itu serinci mungkin untuk memberi gambaran tentang pentingnya masalah itu untuk dipecahkan ditinjau dari pengaruhnya terhadap pembelajaran secara umum maupun jumlah siswa yang terlibat.

Contoh: “Jika diberi pelajaran dengan pendekatan terpadu antara geografi, ekonomi, dan sejarah siswa merasa sukar mentransfer keterampilan dari satu pelajaran ke pelajaran lain. Pelajaran yang saya berikan adalah geografi, tetapi saya sering mengaitkan pembahasan dengan mata pelajaran lain seperti ekonomi dan sejarah. Ketika saya minta siswa mengemukakan hipotesis tentang pengaruh Danau Toba terhadap perkembangan ekonomi daerah, siswa terasa sangat bingung; padahal mereka telah dapat mengemukakan hipotesis dengan baik dalam mata pelajaran geografi. Saya khawatir siswa hanya menghafal pada saat dilatih mengemukakan hipotesis. Padahal dalam kehidupan sehari-hari keterampilan berhipotesis harus dapat diterapkan di mana saja dan dalam bidang studi apa saja. Pada hakikatnya setiap hari kita mengemukakan hipotesis. Ketidakbisaan siswa itu terjadi sepanjang tahun, tidak hanya pada permulaan tahun ajaran. Kelihatannya semua siswa mengalami hal yang sama, termasuk siswa yang cerdas. Guru lain ternyata juga mengalami hal yang sama, siswanya sukar mentransfer suatu keterampilan ke mata pelajaran lain.”

Rumusan Masalah
Setelah Anda memilih satu masalah secara seksama, selanjutnya Anda perlu merumuskan masalah itu secara komprehensif dan jelas. Sagor (1992) merinci rumusan masalah action research menggunakan lima pertanyaan:

1. Siapa yang terkena dampak negatifnya?
2. Siapa atau apa yang diperkirakan sebagai penyebab masalah itu?
3. Masalah apa sebenarnya itu?
4. Siapa yang menjadi tujuan perbaikan?
5. Apa yang akan dilakukan untuk mengatasi hal itu? (tidak wajib, merupakan hipotesis tindakan).
  • Contoh rumusan masalah:
  • Siswa di SLTP-X tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain di sekolah (Ini menjawab pertanyaan 1 dan 3)
  • Grup action research percaya bahwa hal ini merupakan hasil dari jadwal mata pelajaran dan cara guru mengajarkan materi tersebut (Ini menjawab pertanyaan 2)
  • Kita menginginkan para siswa melihat relevansi kurikulum sekolah, mengapresiasi hubungan antara disiplin-disiplin akademis, dan dapat menerapkan keterampilan yang diperoleh dalam satu mata pelajaran untuk pemecahan masalah dalam mata pelajaran lain (Ini menjawab pertanyaan 4)
  • Oleh karena itu kita merencanakan integrasi pembelajaran IPA, matematika, bahasa, dan IPS dalam satuan pelajaran interdisiplin berjudul Masyarakat dan Teknologi (Ini manjawab pertanyaan 5)
  • Contoh pertanyaan penelitian:
    1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain?
    2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai?
    3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran?
    4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal?

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN


1. Kajian Teori
Dalam membuat rumusan masalah di atas sebenarnya Anda telah melakukan “analisis penyebab masalah” sekaligus membuat “hipotesis tindakan” yang akan diberikan untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk melakukan analisis secara tajam dan menjustifikasi perlakuan yang akan diberikan, Anda perlu merujuk pada teori-teori yang sudah ada. Tujuannya sekedar meyakinkan bahwa apa yang Anda lakukan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Dalam hal ini proses kolaborasi memegang peranan yang sangat penting.


Anda juga perlu membaca hasil penelitian terakhir, termasuk CAR, siapa tahu apa yang akan Anda lakukan sudah pernah dilakukan oleh orang lain; Anda dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang itu. Manfaat lain yang lebih penting, Anda akan mengetahui trend-trend baru yang sedang diperhatikan atau diteliti oleh para guru di seluruh dunia. Sekarang ini sedang nge-trend pembelajaran yang bernuansa quantum teaching, quantum learning, contextual learning, integrated curriculum, dan competency based curriculum yang semua berorientasi pada kepentingan siswa. Jika penelitian Anda masih berkutat pada pemberian drill dan PR agar nilai UAN mereka meningkat, tanpa memperdulikan rasa ketersiksaan siswa, profesionalisme Anda akan dipertanyakan.


2. Hipotesis Tindakan
Lakukanlah analisis penyebab masalah secara seksama agar tindakan yang Anda rencanakan berjalan dengan efektif. Hipotesis tindakan dapat Anda tuliskan secara eksplisit, tetapi dapat juga tidak karena pada dasarnya Anda belum tahu tindakan mana yang akan berdampak paling efektif.

METODOLOGI
1. Setting Penelitian
Setting penelitian perlu Anda uraikan secara rinci karena penting artinya bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Mereka tentu akan mempertimbangkan masak-masak apakah ada kemiripan antara setting sekolahnya dengan setting penelitian Anda.
2. Perbedaan Mengajar Biasa dengan CAR
Dalam melakukan CAR kegiatan mengajar standar (biasa) berlangsung secara alami; tetapi ada bagian-bagian tertentu yang diberi perlakuan secara khusus dan diamati dampaknya secara seksama. Langkah-langkah seperti pembuatan satuan pelajaran, rencana pelajaran, lembaran kerja, dan alat bantu pembelajaran lainnya adalah langkah pembelajaran standar, bukan CAR. Asumsinya CAR dilaksanakan oleh guru yang sudah melaksanakan pembelajaran standar secara lengkap tetapi belum berhasil. Ia akan memodifikasi bagian-bagian tertentu dari pembelajaran standar itu. Bagian yang dimodifikasi itulah fokus dari CAR Anda.
3. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan CAR sebaiknya hanya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan CAR. Jika ada perubahan pada satuan pelajaran misalnya, hanya bagian yang diubah saja yang perlu diuraikan secara rinci. Akan lebih baik jika perubahan itu diletakkan dalam konteks satuan pelajaran aslinya sehingga terlihat jelas besar perubahan yang dilakukan. Perangkat-perangkat pembelajaran juga hanya tambahannya yang diuraikan secara rinci. Jika pembelajaran standar telah dilaksanakan dengan baik perangkat pembelajaran yang diperlukan untuk CAR dengan sendirinya sebagian besar sudah tersedia.


Yang sering terjadi dalam CAR selama ini pembelajaran standar belum dilaksanakan sehingga CAR menjadi wahana untuk mewujudkan pembelajaran standar. Hal itu terlihat dari latar belakang yang diuraikan secara emosional oleh peneliti, umumnya menggambarkan pembelajaran yang sangat tradisional, buruk, dan di bawah standar. Setelah sekolah mendapat bantuan dana peningkatan kualitas pembelajaran pun uraian latar belakang itu tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Secara tidak langsung ditunjukkan bahwa perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh pemberi dana selama ini berlalu tanpa bekas.
Tahap perencanaan bisa memerlukan waktu setengah bulan karena harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk di dalamnya adalah penyusunan jadwal, pembuatan instrumen, dan pemilihan kolaborator.


4. Siklus-siklus
Dalam CAR siklus merupakan ciri khas yang membedakannya dari penelitian jenis lain; oleh karena itu siklus harus dilaksanakan secara benar. Siklus pada hakikatnya adalah rangkaian “riset-aksi-riset-aksi- …” yang tidak ada dalam penelitian biasa. Dalam penelitian biasa hanya terdapat satu riset dan satu aksi kemudian disimpulkan. Dalam CAR hasil yang belum baik masih ada kesempatan untuk diperbaiki lagi sampai berhasil.


Siklus terdiri dari (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi; dan (5) perencanaan kembali. Yang diuraikan dalam siklus hanya bagian yang dimodifikasi melalui action reseach, bukan seluruh proses pembelajaran. Modifikasi atau perubahan secara total jarang dilakukan dalam action research yang berskala kelas karena bagaimanapun sistem pendidikan secara umum masih belum berubah.


Misalnya Anda akan memodifikasi pembelajaran dengan memperbanyak penggunaan carta. Dalam “perencanaan” yang Anda uraikan adalah tentang carta itu saja, misalnya “Tiap pertemuan diusahakan akan ada carta yang digunakan dalam kelas.” Dalam “pelaksanaan” Anda uraikan kenyataan yang terjadi, apakah benar tiap pertemuan bisa digunakan carta, misalnya “Penggunaan carta tiap pertemuan hanya dapat dilakukan selama dua minggu pertama; minggu berikutnya rata-rata hanya satu carta tiap empat pertemuan.” Anda tentu saja dapat mengelaborasi “pelaksanaan” itu dengan menyebutkan carta-carta apa saja yang digunakan, saat-saat mana yang paling tepat untuk penggunaan, siapa yang menggunakan, berapa lama digunakan, berapa ukurannya, di mana disimpan, dsb., dsb. “Pengamatan” didominasi oleh data-data hasil pengukuran terhadap respons siswa, menggunakan berbagai instrumen yang telah disiapkan. “Refleksi” berisi penjelasan Anda tentang mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan, diakhiri dengan perencanaan kembali untuk perlakuan pada siklus berikutnya.


Dalam action reseach selama ini banyak siklus yang bersifat semu, tidak sesuai dengan kaidah yang sudah baku. Inilah kelemahan-kelemahan yang terjadi.
1. siklus diuraikan semua proses pembelajaran, sehingga tidak dapat dilihat bagian yang sebenarnya sedang diteliti. Seolah-olah seluruh proses pembelajaran diubah secara total melalui CAR, dan sebelumnya pembelajaran berlangsung secara tradisional, buruk, dan di bawah standar.
2. Tidak jelas apakah perlakuan dalam suatu siklus dilakukan secara terus-menerus selama periode tertentu, sampai data pengamatan bersifat jenuh (menunjukkan pola yang menetap) dan diperoleh dari berbagai sumber (triangulasi). Sebagai analogi, jika selama satu minggu suhu badan pasien menunjukkan suhu 37,50 C; 370 C; 370 C; 37,50 C; 37,50 C; 37,50 C; dapatlah disimpulkan bahwa kondisinya telah kembali normal. Itu digabungkan dengan data pengamatan lain selama seminggu juga seperti perilaku, nafsu makan, dan denyut nadi pasien, yang bersifat triangulatif.
3. Siklus dilakukan tidak berdasarkan refleksi dari siklus sebelumnya. Ada siklus yang dilakukan secara tendensius: siklus pertama dengan metode ceramah, siklus kedua dengan demonstrasi, dan siklus ketiga dengan eksperimen, hanya ingin menunjukkan bahwa metode eksperimen adalah yang terbaik. Peneliti ini lupa bahwa metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran. Untuk materi pertama boleh jadi justru metode ceramah yang lebih cocok.


5. Instrumen
Instrumen merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan CAR. Jenis instrumen harus sesuai dengan karakteristik variabel yang diamati. Triangulasi dan saturasi (kejenuhan informasi) perlu diperhatikan untuk menjamin validitas data.


HASIL PENELITIAN


Siklus-siklus Penelitian
Hasil penelitian CAR tidak hanya berisi data hasil observasi, melainkan justru proses perbaikan yang dilakukan. Untuk itu siklus adalah cara yang tepat untuk menyajikan hasil penelitian. Data hasil observasi tidak disajikan secara terpisah melainkan dalam konteks siklus-siklus yang telah dilakukan.


Tabel, Diagram, dan Grafik
Tabel, diagram, dan grafik sangat baik digunakan untuk menyajikan data hasil observasi. Gunanya agar refleksi dapat dilakukan lebih mudah. Tetapi sajian yang cantik itu bisa menjadi blunder manakala angka-angkanya diatur sedemikain rupa sehingga terkesan artificial. Hasil yang begitu spektakuler seringkali tidak disertai dengan “bagaimana” proses untuk mencapainya, sehingga pembaca akan makin ragu.


Hasil-hasil yang Otentik
Hasil-hasil yang otentik seperti karangan siswa, gambar hasil karya siswa, dan foto tentang proyek yang dilakukan siswa akan sangat baik dicantumkan sebagai hasil penelitian.


KESIMPULAN CAR
1. Kesimpulan
Kesimpulan tentu saja harus menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis yang telah dikemukakan. Pertanyaan penelitian pada bagian D4 di atas di samping menuntut jawaban yang berupa hasil juga menuntut prosesnya. Marilah kita lihat pertanyaan-pertanyaan itu sekali lagi.
1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diperoleh melalui tes awal dan atau selama proses pembelajaran berlangsung. Walaupun baru berupa daftar kesulitan yang dialami siswa, temuan ini cukup berarti bagi guru-guru lain. Kita sendiri pada saat ini belum bisa membayangkan kesulitan-kesulitan tersebut.
2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai ? Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah guru menghubungkan berbagai mata pelajaran dalam materi tes awal atau selama pembelajaran berlangsung, misalnya antara fisika dengan biologi, ekonomi dengan sejarah, dan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran ? Kesimpulan ini dapat diperoleh melalui kuesioner dan atau wawancara pada awal pembelajaran atau selama pembelajaran berlangsung.
4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal ?Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah siswa diberi perlakukan yang berbeda; misalnya satu kelas diberi pelajaran multi disiplin, dan kelas lain diberi pelajaran yang terpisah-pisah, seperti biasanya. Ini tampaknya merupakan fokus dari CAR. Jika ditemukan bahwa mata pelajaran multidisiplin lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan transfer keterampilan antar mata pelajaran, peneliti perlu mengelaborasi bagaimana proses pembelajaran model multidisiplin tersebut berlangsung.


Jadi kesimpulan penelitian CAR akan kurang bermanfaaat jika bunyinya hanya seperti: “Pembelajaran dengan media akan meningkatkan hasil belajar siswa.” Kesimpulan ini mirip dengan yang diinginkan penelitian kuantitatif. Guru lain yang membaca kesimpulan ini tentu ingin mengetahui bagaimana prosesnya sehingga media itu bisa meningkatkan hasil belajar. Jadi kesimpulan itu masih harus diikuti dengan proses atau rinciannya, seperti a) Transparansi OHP lebih disukai siswa daripada media lain, b) Paling banyak hanya 10 transparansi dapat ditunjukkan dalam satu presentasi, jika lebih dari itu siswa akan bosan; c) Presentasi pada awal pembelajaran cenderung lebih disukai; d) Penjelasan yang terlalu lama terhadap satu transparansi cenderung membuat siswa bosan; dan e) Satu kali presentasi sebaiknya tidak lebih dari 20 menit.


2. Saran
Karena CAR bersifat kontekstual, pemberian saran kepada orang lain berdasarkan hasil penelitian tersebut sebenarnya kurang bermanfaat. Deskripsi konteks penelitian secara rinci sudah cukup untuk memberikan informasi bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Saran seperti “Program CAR ini perlu lanjutkan dan diperluas untuk tahun-tahun mendatang,” juga kurang begitu perlu, bahkan kurang relevan.


Saran CAR diperlukan misalnya jika temuan penelitian menyangkut sistem yang lebih luas dari sekedar kelas, misalnya menghendaki adanya perubahan pengaturan jadwal pelajaran di sekolah. Dalam hal itu peneliti dapat menyarankan tentang jadwal yang diinginkan kepada fihak sekpolah.

DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka mencerminkan penguasaan Anda atas teori belajar dan pembelajaran yang Anda minati. Di samping itu, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, daftar pustaka mencerminkan keluasan pengetahuan Anda atas penelitian-penelitien terbaru yang sedang ngetren. Selama ini guru peneliti sering mencantumkan nama-nama ahli pendidikan, psikologi, dan pembelajaran tetapi tidak disertai dengan daftar pustakannya. Buatlah daftar pustaka secara cermat.


Sumber : Dr. Supriyadi M. Pd.*)) disajikan dalam Workshop MKKS Tingkat Pusat yang Diselenggarakan olah Direktorat Pendidikan Menengah Umum 12-15 September 2005 di Hotel Evergreen, Cisarua, Bogor.
*) Dr. Supriyadi M. Pd. adalah staf pengajar pada Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta.

Tulisan lain tentang Penelitian Tindakan Kelas disampaikan pula oleh Drs. Tatang Sunendar dari LPMP Jawa Barat, tulisan disajikan dalam bentuk tayangan slide.
Silahkan klik tautan di bawah ini!

Penelitian Tindakan Kelas (Part II)


Diterbitkan Maret 21, 2008 kurikulum dan pembelajaran Tags: artikel, berita, Blog Indonesia, inovasi, KTSP, manajemen pendidikan, opini, pendidikan
Penelitian Tindakan Kelas


oleh: Drs. Tatang Sunendar, M.Si.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat


A. Latar Belakang
Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai.


Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti.
B. Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ?


Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru :

  1. PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya
  2. PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya.
  3. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya.
  4. Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
  5. Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
  6. Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi; meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.


C. Hakikat Penelitian Tindakan Kelas


Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.


PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya.


Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.


Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart, 1988).


Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah) dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan (c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut dilaksanakan (Harjodipuro, 1997).


Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional.


Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk menjadi dewasa.


Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis, realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua “ aksinya di depan kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya. Apabila di dalam pelaksanaan “aksi” nya masih terdapat kekurangan, dia akan bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.


D. Jenis dan Model PTK
Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei, analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik. Dikatakan sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.


Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.

  1. Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
  2. Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil.
  3. Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator. Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya penelitian.
  4. Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah.
  5. Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya.
  6. Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama.


Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya.


E. Jenis Penelitian Tindakan Kelas
Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.


1. PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
2. PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
3. PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
4. PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.


F. Model-model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt.


1. Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
2. Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini.


SIKLUS PELAKSANAAN PTK
Gambar 4: Riset Aksi Model John Elliot
G. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu Tahapan Pra PTK, yang meliputi:
· Identifikasi masalah
· Analisis masalah
· Rumusan masalah
· Rumusan hipotesis tindakan
Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan guna menuntut pelaksanaan tahapan PTK adalah sebagai berikut ini.


1. Apa yang memprihatinkan dalam proses pembelajaran?
2. Mengapa hal itu terjadi dan apa sebabnya?
3. Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi keprihatinan tersebut?
4. Bukti-bukti apa saja yang dapat dikumpulkan untuk membantu mencari fakta apa yang terjadi?
5. Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut?
Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya. Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain.

Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat.

  1. Perencanaan Tindakan; berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan.
  2. Pelaksanaan Tindakan; tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan.
  3. Pengamatan Tindakan; kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat empat metode observasi, yaitu : observasi terbuka; observasi terfokus; observasi terstruktur dan dan observasi sistematis. Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam observasi, diantaranya :(a) ada perencanaan antara dosen/guru dengan pengamat; (b) fokus observasi harus ditetapkan bersama; (c) dosen/guru dan pengamat membangun kriteria bersama; (d) pengamat memiliki keterampilan mengamati; dan (e) balikan hasil pengamatan diberikan dengan segera. Adapun keterampilan yang harus dimiliki pengamat diantaranya : (a) menghindari kecenderungan untuk membuat penafsiran; (b) adanya keterlibatan keterampilan antar pribadi; (c) merencanakan skedul aktifitas kelas; (d) umpan balik tidak lebih dari 24 jam; (d) catatan harus teliti dan sistemaris
  4. Refleksi Terhadap Tindakan; tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih.Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Tentu saja kadar ketajaman proses refleksi ini ditentukan oleh kejataman dan keragaman instrumen observasi yang dipakai sebagai upaya triangulasi data. Observasi yang hanya mengunakan satu instrumen saja. Akan menghasilkan data yang miskin.Adapun untuk memudahkan dalam refleksi bisa juga dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siiklus selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator.

Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral. Kapan siklus-siklus tersebut berakhir? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh si peneliti sendiri. Kalau dia sudah merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dia lakukan, maka dia akan mengakhiri siklus-siklus tersebut. Selanjutnya, dia akan melakukan satu identifikasi masalah lain dan kemudian diikuti oleh tahapan-tahapan PTK baru guna mencari solusi dari masalah tersebut.

Sabtu, 02 Agustus 2008

TEAM TEACHING

Team Teaching
Diterbitkan Juli 28, 2008 kurikulum dan pembelajaran Tags: artikel, berita, KTSP, kurikulum dan pembelajaran, opini, pembelajaran
oleh : Yeni Artiningsih*))
======================================================
A. Pendahuluan
Berbicara tentang penyelenggaraan pendidikan di sekolah, tentu tidak terlepas dari peran serta guru dalam melaksanakan proses pembelajaran siswa, yang diwujudkan dalam bentuk interaksi belajar mengajar, baik antara pendidik dengan pendidik lainnya, pendidik dengan peserta didik, maupun peserta didik dengan peserta didik dan lingkungannya. Dalam menyelenggarakan pembelajaran formal, pendidik berpedoman pada rencana dan pengaturan tentang pendidikan, yang keseluruhannya dikemas dalam bentuk kurikulum.
Dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, peran guru untuk dapat mengimplementasikan dan mengembangkan kurikulum tampaknya bukan hal yang sederhana. Guru dituntut untuk dapat memenuhi sejumlah prinsip pembelajaran tertentu, diantaranya guru harus memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual, mengembangkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif, kreatif dan menyenangkan, serta menilai proses dan hasil pembelajaran siswa secara akurat dan komperhensif.Untuk dapat mengimplementasikan kurikulum dengan baik tampaknya masih ditemukan berbagai kendala, seperti persoalan rendahnya motivasi dan kemampuan guru itu sendiri, ratio antara guru dengan siswa yang tidak seimbang, dan keterbatasan sarana. Semua itu menuntut guru untuk dapat mengelola pembelajaran dan mengembangkan bentuk-bentuk strategi pembelajaran yang lebih tepat dan sesuai.
Selama ini pada umumnya strategi pembelajaran yang dikembangkan di sekolah cenderung dilakukan secara soliter. Dalam arti, pengelolaan pembelajaranmenjadi tanggung jawab guru yang bersangkutan secara individual, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun menilai pembelajaran siswa. Ketika dihadapkan dengan tuntutan kurikulum yang sangat kompleks dan kondisi nyata yang kurang kondusif, guru seringkali menjadi tidak berdaya dan memiliki keterbatasan untuk dapat mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan apa yang diharapkan dan digariskan dalam ketentuan yang ada.
Dalam hal ini, strategi Team Teaching tampaknya bisa dijadikan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ada. Team Teaching merupakan salah satu bentuk strategi pembelajaran yang melibatkan dua orang guru atau lebih dalam proses pembelajaran siswa, dengan pembagian peran dan tanggung jawab secara jelas dan seimbang. Melalui strategi Team Teaching, diharapkan antar mitra dapat bekerja sama dan saling melengkapi dalam mengelola proses pembelajaran. Setiap permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran dapat diatasi secara bersama-sama.
Melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang konsep dasar microteaching dan tahapan-tahapan dalam pembelajaran microteaching,
======================================================
B. Konsep Dasar Team Teaching
Dewasa ini, seiring dengan semakin modernnya sistem pendidikan dan tuntutan yang semakin berkembang, tak jarang sekolah-sekolah yang masih menggunakan strategi pembelajaran konvensional dalam melaksanakan proses pembelajarannya. Dalam proses pembelajaran dengan strategi konvensional ini, proses pembelajaran dilakukan secara soliter, artinya proses pembelajaran yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada evaluasi pembelajaran siswa dilakukan oleh satu orang guru.
Padahal sebenarnya, sekarang ini kurikulum pendidikan di Indonesia sudah makin berkembang. Telah banyak tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepada guru. Saat ini, guru dituntut untuk lebih inovatif dan kreatif dalam menentukan/ memilih metode pembelajaran yang digunakan, yang tentunya harus disesuaikan dengan materi pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Selain itu, guru di era sekarang juga dituntut untuk lebih mengenal setiap individu dari diri siswa. Dan melihat ratio antara jumlah guru dan siswa yang tidak seimbang, tentu seorang guru tidak mungkin bisa menangani jumlah siswa yang banyak itu. Satu hal yang juga penting, bahwa yang namanya guru bukan berarti orang yang tahu akan segala hal. Dalam hal ini, setiap manusia tentulah memiliki kekurangan pengetahuan. Ini menunjukkan bahwa guru pun membutuhkan sosok lain yang bisa diajak kerja sama dalam menghadapi segala kesulitan yang ada pada saat melaksanakan proses pembelajaran.
Jika melihat beberapa masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan, dalam hal ini pihak sekolah dan guru-guru dituntut daya kreatifitasnya dalam memilih strategi yang tepat agar segala tuntutan yang ditujukan terhadap guru khususnya itu dapat terpenuhi dengan maksimal. Dan tampaknya strategi Team Teaching merupakan cara tepat.
Team Teaching merupakan strategi pembelajaran yang kegiatan proses pembelajarannya dilakukan oleh lebih dari satu orang guru dengan pembagian peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Definisi ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Martiningsih (2007) bahwa “Metode pembelajaran team teaching adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masing-masing mempunyai tugas.
Lebih lanjut Ahmadi dan Prasetya (2005) menyatakan bahwa Team teaching (pengajaran beregu) adalah suatu pengajaran yang dilaksanakan bersama oleh beberapa orang. Tim pengajar atau guru yang menyajikan bahan pelajaran dengan metode mengajar beregu ini menyajikan bahan pengajaran yang sama dalam waktu dan tujuan yang sama pula. Para guru tersebut bersama-sama mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar siswa. Pelaksanaan belajarnya dapat dilakukan secara bergilir dengan metode ceramah atau bersama-sama dengan metode diskusi panel.
Sebenarnya ada beberapa jenis dari strategi Team Teaching, sesuai yang dijelaskan oleh Soewalni S (2007), yaitu :
1. Semi Team Teaching :
Tipe 1 = sejumlah guru mengajar mata pelajaran yang sama di kelas yang berbeda. Perencanaan materi dan metode disepakati bersama.
Tipe 2a = satu mata pelajaran disajikan oleh sejumlah guru secara bergantian dengan pembagian tugas, materi dan evaluasi oleh guru masing-masing.
Tipe 2b = satu mata pelajaran disajikan oleh sejumlah guru dengan mendesain siswa secara berkelompok.
2. Team Teaching Penuh
Tipe 3 = satu tim terdiri dari dua orang guru atau lebih, waktu kelas sama, pembelajaran mata pelajaran / materi tertentu. Perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara bersama dan sepakat.
Adapun variasi Team Teaching Penuh menurut Soewalni S (2007) ialah :
· Pelaksanaan bersama, seorang guru sebagai penyaji atau menyampaikan informasi, seorang guru membimbing diskusi kelompok atau membimbing latihan individual.
· Anggota tim secara bergantian menyajikan topik/materi. Diskusi / tanya jawab dibimbing secara bersama dan saling melengkapi jawaban dari anggota tim.
· Seorang guru (senior) menyajikan langkah latihan, observasi, praktek dan informasi seperlunya. Kelas dibagi dalam kelompok, setiap kelompok dipandu seorang guru (tutor, fasilitator, mediator). Akhir pembelajaran masing-masing kelompok menyajikan laporan (lisan/tertulis) dan ditanggapi bersama serta disimpulkan bersama.
Namun, dari beberapa jenis Team Teaching yang dikemukakan oleh Soewalni S, penulis lebih condong ke jenis Team Teaching penuh, karena disana lebih terlihat nyata strategi Team Teaching-nya. Guru yang mengajar lebih dari satu orang, mereka mengajar di kelas yang sama dengan materi yang sama dan pada waktu yang sama, serta setiap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya pun dilakukan atas kesepakatan bersama. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip pembentukan team dalam sebuah pelaksanaan tugas, bahwa segala sesuatunya yang berkaitan dengan misi pencapaian tujuan dilakukan secara bersama-sama, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada evaluasi terhadap apa yang telah dilaksanakan.
C. Tahapan Pembelajaran dengan Strategi Team Teaching
1. Tahap Awal
a. Perencanaan Pembelajaran Disusun secara Bersama
Perencanaan pembelajaran atau yang saat ini lebih populer dengan istilah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) harus disusun secara bersama-sama oleh setiap guru yang tergabung dalam Team Teaching. Agar setiap guru yang tergabung dalam team teaching memahami tentang apa-apa yang tercantum dalam isi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tersebut, mulai dari standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang harus diraih oleh siswa dari proses pembelajaran, sampai kepada sistem penilaian hasil evaluasi siswa.
b. Metode Pembelajaran Disusun Bersama
Selain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus disusun bersama oleh team, metode yang akan digunakan oleh mereka dalam proses pembelajaran Team Teaching pun harus direncanakan bersama-sama oleh anggota Team Teaching. Perencanaan metode secara bersama ini dilakukan agar setiap guru Team Teaching mengetahui alur proses pembelajaran dan tidak kehilangan arah pembelajaran.
c. Partner Team Teaching Memahami Materi dan Isi Pembelajaran
Guru sebagai partner dalam Team Teaching bukan hanya harus mengetahui tema dari materi yang akan disampaikan kepada siswa saja, lebih jauh dari itu, mereka juga harus sama-sama mengetahui dan memahami isi dari materi pelajaran tersebut. Hal ini agar keduanya bisa saling melengkapi kekurangan pengetahuan yang ada di dalam diri masing-masing. Terutama ini dapat dirasakan manfaatnya dalam penyampaian materi pada siswa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa atas penjelasan guru.
d. Pembagian Peran dan Tanggung Jawab Secara Jelas
Dalam Team Teaching, pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing guru harus dibicarakan secara jelas ketika merencanakan proses pembelajaran yang akan dilaksanakan, agar ketika proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas, mereka tahu peran dan tugasnya masing-masing. Tidak ada lagi yang namanya ketidakjelasan peran dan tanggung jawab dalam hal ini.
2. Tahap Inti
· Satu guru sebagai pemateri dalam dua jam mata pelajaran penuh, dan satu orang sebagai pengawas dan pembantu team.
· Dua orang guru bergantian sebagai pemateri dalam dua jam pelajaran, dalam hal ini berarti tugas sebagai pemateri dibagi dua dalam dua jam pelajaran yang ada.
3. Tahap Evaluasi
a. Evaluasi Guru
Evaluasi guru selama proses pembelajaran dilakukan oleh partner team setelah jam pelajaran berakhir. Evaluasi dilakukan oleh masing-masing partner dengan cara memberi kritikan-kritikan dan saran yang membangun untuk perbaikan proses pembelajaran selanjutnya. Dalam hal ini setiap guru yang diberi saran harus menerima dengan baik saran-saran tersebut, karena hakekatnya itulah kelebihan dari team teaching. Setiap guru harus merasa bahwa mereka banyak mengalami kekurangan dalam diri mereka, tidak merasa diri paling benar dan paling pintar. Evaluasi ini dilakukan di luar ruang kelas, ini dilakukan untuk menjaga image masing-masing guru dihadapan siswa.
b. Evaluasi Siswa
Evaluasi siswa dalam hal ini mencakup pembuatan soal evaluasi dan merencanakan metode evaluasi, yang semuanya dilakukan secara bersama-sama oleh guru Team Teaching. Atas kesepakatan bersama guru harus membuat soal-soal evaluasi yang akan diberikan kepada siswa, disini guru Team Teaching harus secara bersama-sama menentukan bentuk soal evaluasi, baik lisan ataupun tulisan, baik pilihan ganda, uraian, atau kombinasi antara keduanya.
Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah dalam evaluasi siswa, guru juga diharuskan merencanakan metode evaluasi. Perencanaan metode evaluasi siswa ini di dalamnya mencakup pembagian peran dan tanggung jawab setiap guru Team Teaching dalam pelaksanaan evaluasi, serta pembagian pos-pos pengawasan.
C. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Semakin berkembangnya kurikulum pengajaran, menuntut guru untuk semakin kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Berbagai tuntutan yang ditujukan kepada guru pun semakin kompleks, diantaranya ialah guru dituntut untuk mampu memperhatikan perbedaan individual siswa, guru harus kreatif mendesain strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif dan nyaman belajar, serta guru pun dituntut untuk mampu melakukan penilaian terhadap proses dan hasil belajar siswa secara menyeluruh. Berbagai hal yang harus dipenuhi guru tersebut, tentu merupakan hal yang sulit jika semua itu dilakukan seorang diri, untuk itu membutuhkan partner agar semua hal tersebut dapat dilakukan secara maksimal. Maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan strategi Team Teaching dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Team Teaching merupakan suatu strategi pembelajaran yang dilakukan oleh lebih dari satu orang guru dengan pembagian tugasnya secara jelas. Dilihat dari jenisnya, strategi Team Teaching ada dua jenis, yaitu semi Team Teaching dan Team Teaching penuh. Dalam strategi Team Teaching, seluruh aktivitas proses pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada evaluasi dilakukan secara bersama oleh guru Team Teaching. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip kerja sama.
2. Saran
Bagi pihak sekolah, hendaknya kreatif dalam memilih metode pembelajaran yang akan digunakan dalam Proses Belajar Mengajar, agar proses pembelajaran berjalan dengan baik dan hasil yang dicapai oleh siswa pun relatif baik. Dan bagi sekolah-sekolah yang sudah menggunakan strategi Team Teaching dalam proses pembelajaran, pelaksanaan Team Teaching harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang benar agar tidak terjadi penyimpangan dalam sistem pembelajaran.
======================================================
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. dan Prasetya. (2005). Strategi Belajar Mengajar. Bandung : CV Pustaka Setia.
Martiningsih. (2007). Team Teaching. (http://martiningsih.blogspot.com).(Diakses tgl 8 April 2008).
Soewalni, S. (2007). Team Teaching. Makalah Program Pelatihan Applied Approach 2007 di Lembaga Pengembangan Pendidikan UNAS. (Diakses tgl 8 April 2008).
*)) Yeni Artiningsih, adalah mahasiswa tingkat IV pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah seminar Ilmu Manajemen, yang disampaikan oleh Bapak Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd. dan Bapak Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Penataan Tempat Duduk Siswa Sebagai Bentuk Pengelolaan Kelas
Diterbitkan Juli 28, 2008 kurikulum dan pembelajaran

Tags: artikel, berita, Blog Indonesia, KTSP, pendidikan

Oleh: Epa Muhopilah*))

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilaihii Rabi yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah dengan judul Penataan Tempat Duduk sebagai Bentuk Pengelolaan Kelas ini disusun sebagai Ujian Akhir Semester (UAS) tahap pertama. Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Terutama kepada Bapak Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd selaku dosen dan Bapak Akhmad Sudrajat, M.Pd selaku asisten dosen yang telah menugaskan penyusunan makalah ini.
Penulis merasa bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu penulis mengharapakan saran dan kritik yang membangun guna penyususnan selanjutnya.
Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan tak lupa bagi pembaca umumnya.
Kuningan, Juli 2008
Penulis
===================================================
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pembelajaran bahwa penguasaan pengetahuan dan keterampilan hidup yang dibutuhkan siswa dalam menghadapi kehidupan rill adalah merupakan tujuan pendidikan. Tetapi dalam proses pembelajaran dalam kelas bagaiamana siswa dapat menguasai dan memahami bahan ajar secara tuntas masih merupakan masalah yang sulit. Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam satu kelas para siswa adalah merupakan makhluk sosial yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari aspek kecerdasan, pisikologis, biologis.Dari perbedaan tersebut maka dapat menimbulkan beragamnya sikap dan anak didik di dalam kelas. Menjadi tugas guru bagaiman menjadikan keanekaragaman karakteristik siswa tersebut dapat diatasi sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Hal itu merupakan tugas bagi guru dalam mengelola kelas dengan baik. Keterampilan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran tidak hanya tertuang dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik akan dipengaruhi pula oleh iklim belajar yang kondusif atau maksimal berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang.Banyaknya keluhan guru karena sukarnya mengelola kelas sehingga tujuan pembelajaran sukar untuk dicapai. Hal ini kiranya tidak perlu terjadi apabila ada usaha yang dapat dilakukan oleh guru dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif dan maksimal. Misalnya penataan ruang kelas berupa pengaturan/ penataan tempat duduk yang sesuai dengan kegiatan yang sedang berlangsung.Pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi dengan seperangkat item soal yang sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran.
Dari permasalahan tersebut maka kiranya perlu bagi guru atau calon pengajar mengetahui dan memahami tentang pengelolaan kelas, salah satunya yaitu pengaturan ruangan kelas berupa penataan tempat duduk siswa.
B. Tujuan Penulisan
Dari pemaparan di atas maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu:
Untuk memperoleh gambaran tentang apa itu pengelolaan kelas
Untuk memperoleh gambaran tentang penataan tempat duduk siswa sebagai bentuk dari pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan.
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu dapat menambah wawasan bagi guru dan mahasiswa keguruan tentang pengelolaan kelas, dan bagaimana penataan tempat duduk siswa sebagai bentuk dari pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru.
===================================================
BAB II PENATAAN TEMPAT DUDUK SISWA SEBAGAI BENTUK PENGELOLAAN KELAS
A. Pengertian Pengelolaan Kelas
Menurut Winataputra (2003), menyatakan bahwa: Pengelolaan kelas adalah serangkaian kegiatan guru yang ditujukan untuk mendorong munculnya tingkah laku siswa yang diharapkan dan menghilangkan tingkah laku siswa yang tidak diharapkan, menciptakan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosoi- emosional yang positif , serta menciptakan dan memelihara organisasi kelas yang produktif dan efektif.
Akhmad Sudrajat (akhmadsudrajat.wordpress.com), menyatakan bahwa:Pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan rapport, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang (peserta didik) dan fasilitas.
Dan menurut Winzer (Winataputra, 1003: 9.9) menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah cara-cara yang ditempuh guru dalam menciptakan lingkungan kelas agar tidak terjadi kekacauan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai tujuan akademis dan sosial.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas. Kegiatan guru tersebut dapat berupa pengaturan kondisi dan fasilitas yang berada di dalam kelas yang diperlukan dalam proses pembelajaran diantaranya tempat duduk, perlengkapan dan bahan ajar, lingkungan kelas (cahaya, temperatur udara, ventilasi) dll.
B. Penataan Ruang Kelas
Pembelajaran yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggairahkan, untuk itu perlu diperhatikan pengaturan/ penataan ruang kelas dan isinya, selama proses pembelajaran. Lingkunagan kelas perlu ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara siswa dengan guru, dan antar siswa. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menata lingkungan fisik kelas menurut Loisell (Winataputra, 2003: 9.22) yaitu:
1. Visibility ( Keleluasaan Pandangan)
Visibility artinya penempatan dan penataan barang-barang di dalam kelas tidak mengganggu pandangan siswa, sehingga siswa secara leluasa dapat memandang guru, benda atau kegiatan yang sedang berlangsung. Begitu pula guru harus dapat memandang semua siswa kegiatan pembelajaran.
2. Accesibility (mudah dicapai)
Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk harus cukup untuk dilalui oleh siswa sehingga siswa dapat bergerak dengan mudah dan tidak mengganggu siswa lain yang sedang bekerja.
3. Fleksibilitas (Keluwesan)
Barang-barang di dalam kelas hendaknya mudah ditata dan dipindahkan yang disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran. Seperti penataan tempat duduk yang perlu dirubah jika proses pembelajaran menggunakan metode diskusi, dan kerja kelompok.
4. Kenyamanan
Kenyamanan disini berkenaan dengan temperatur ruangan, cahaya, suara, dan kepadatan kelas.
5. Keindahan
Prinsip keindahan ini berkenaan dengan usaha guru menata ruang kelas yang menyenangkan dan kondusif bagi kegiatan belajar. Ruangan kelas yang indah dan menyenangkan dapat berengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Penyusunan dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk bekelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu dan memantau tingkah laku siswa dalam belajar. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal berikut perlu diperhatikan menurut Conny Semawan,dkk. (udhiezx.wordpress: 3) yaitu:
Ukuran bentuk kelas
Bentuk serta ukuran bangku dan meja
Jumlah siswa dalam kelas
Jumlah siswa dalam setiap kelompok
Jumlah kelompok dalam kelas
Komposisi siswa dalam kelompok (seperti siswa yang pandai dan kurang pandai, pria dan wanita).
Berkaitan dengan penataan ruang kelas belajar maka pada penulisan makalah ini hanya berkaitan dengan pengelolaan kelas berupa penempatan tempat duduk siswa saja.
C. Tempat Duduk Siswa
Tempat duduk merupakan fasilitas atau barang yang diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran terutama dalam proses belajar di kelas di sekolah formal.tempat duduk dapat mempengaruhi proses pembelajaran siswa, bila tempat duduknya bagus, tidak terlalu rendah, tidak terlalu besar, bundar, persegi empat panjang, sesuai dengan keadaan tubuh siswa. Maka siswa akan merasa nyaman dan dapat belajar dengan tenang.
Bentuk dan ukuran tempat yang digunakan bermacam-macam, ada yang satu tempat duduk dapat di duduki oleh seorang siswa, dan satu tempat yang diduduki oleh beberapa orang siswa. Sebaiknya tempat duduk siswa itu mudah di ubah-ubah formasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan pembelajaran. Untuk ukuran tempat dudukpun sebaiknya tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil sehingga mudah untuk diubah-ubah dan juga harus disesuaikan dengan ukuran bentuk kelas.
Sebenarnya banyak macam posisi tempat duduk yang bias digunakan di dalam kelas seperti berjejer ke belakang, bentuk setengah lingkaran, berhadapan, dan sebagainga. Biasanya posisi tempat duduk berjejer kebelakang digunakandalam kelas dengan metode belajar ceramah. Dan untuk metode diskusi dapat menggunakan posisi setengah lingkaran atau berhadapan. Dan sebagai alternatif penataan tempat duduk dengan metode kerja kelompok atau bahkan bentuk pembelajaran kooperatif, maka menurut Lie (2007: 52) ada beberapa model penataan bangku yang biasa digunakan dalam pembelajaran kooperatif, diantaranya seperti:
Meja tapal kuda, siswa bekelompok di ujung meja
Penataan tapal kuda, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
Meja Panjang
Meja Kelompok, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
Meja berbaris, dua kelompok duduk berbagi satu meja
Dan masih ada beberapa bentuk posisi tempat duduk yang dapat diterapkan dalam pembelajaran kooperatif ini.
Dalam memilih desain penataan tempat duduk perlu memperhatikan jumlah siswa dalam satu kelas yang kan disesuaikan pula dengan metode yang akan digunakan.Hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa dalam penataan tempat duduk siswa tersebut guru tidak hanya menyesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan saja. Tetapi seorang guru perlu mempertimbangkan karakteristik individu siswa, baik dilihat dari aspek kecerdasan, psikologis, dan biologis siswa itu sendiri. Hal ini penting karena guru perlu menyusun atau menata tempat duduk yang dapat memberikan suasana yang nyaman bagi para siswa.Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (udhiezx.wordpress: 4) melihat siswa sebagai individu dengan segala perbedaan dan persamaannya yang pada intinya mencakup ketiga aspek di atas. Persamaan dan perbedaan dimaksud adalah :
Persamaan dan perbedaan dalam kecerdasan (inteligensi).
Persamaan dan perbedaan dalam kecakapan
Persamaan dan perbedaan dalam hasil belajar
Persamaan dan perbedaan dalam bakat
Persamaan dan perbedaan dalam sikap
Persamaan dan perbedaan dalam kebiasaan
Persamaan dan perbedaan dalam pengetahuan/pengalaman
Persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri jasmaniah
Persamaan dan perbedaan dalam minat
Persamaan dan perbedaan dalam cita-cita
Persamaan dan perbedaan dalam kebutuhan
Persamaan dan perbedaan dalam kepribadian
Persamaan dan perbedaan dalam pola-pola dan tempo perkembangan
Persamaan dan perbedaan dalam latar belakang lingkungan.
Berbagai persamaan dan perbedaan kepribadian siswa di atas, sangat berguna dalam membantu usaha pengaturan siswa di kelas. Terutama berhubungan dengan masalah bagaimana pola pengelompokan siswa dan penataan tempat duduk dengan metode belajar kelompok guna menciptakan lingkungan belajar aktif dan kreatif, sehingga kegiatan belajar yang penuh kesenangan dan bergairah dapat terlaksana.Penempatan siswa kiranya harus mempertimbangan pula pada aspek biologis seperti, postur tubuh siswa, dimana menempatkan siswa yang mempunyai tubuh tinggi dan atau rendah. Dan bagaimana menempatkan siswa yang mempunyai kelainan dalam arti secara psikologis, misalnya siswa yang hiper aktif, suka melamun, dll.
D. Penataan Tempat Duduk Siswa Sebagai Bentuk Pengelolaan Kelas
Tujuan utama penataan lingkungan fisik kelas ialah mengarahkan kegiatan siswa dan mencegah munculnya tingkah laku siswa yang tidak diharapkan melalui penataan tempat duduk, perabot, pajangan, dan barang-barang lainnya di dalam kelas.Penataan tempat duduk adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengelola kelas. Karena pengelolaan kelas yang efektif akan menentukan hasil pembelajaran yang dicapai. Dengan penataan tempat duduk yang baik maka diharapkan akan menciptakan kondisi belajar yang kondusif, dan juga menyenangkan bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Winzer (Winataputra, 2003: 9-21) bahwa “penataan lingkungan kelas yang tepat berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Lebih jauh, diketahui bahwa tempat duduk berpengaruh jumlah terhadap waktu yang digunakan siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan”.Sesuai dengan maksud pengelolaan kelas sendiri bahwa pengelolaan kelas merupakan upaya yang dilakukan oleh guru dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, melalui kegiatan pengaturan siswa dan barang/ fasilitas. Selain itu pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakakan, memelihara tingkah laku siswa yang dapat mendukung proses pembelajaran. Maka dengan demikian pengelolaan kelas berupa penataan tempat duduk siswa sebagai bentuk pengelolaan kelas dapat membantu menciptakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.
===================================================
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Keterampilan pengelolaan kelas perlu dimiliki oleh guru, karena hal ini akan membantu dalam pencapaian tujuan pembelajaran sendiri. Pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas.
Salah satu bentuk pengelolaan kelas adalah penatan tempat duduk, dimana penatan tempat duduk perlu memperhatikan lingkungan fisik kelas dan juga keanekaragaman karakteristik siswa, serta mempertimbangkan kesesuaian metode yang digunakan dengan tujuan akhir dari pembelajaran itu sendiri.Kondisi dan posisi tempat duduk dapat menentukan tingkat aktivitas belajar siswa di kelas. Hal tersebut sisebabkan karena tempat duduk yang nyaman akan membantu siswa untuk tenang dalam belajar dan apat pula menimbulkan gairah belajar siswa.
B. Saran
Kiranya perlu menjadi perhatian bagi guru dan bahkan calon pengajar bahwa keterampilan mengelola kelas salah satunya penataan tempat duduk harus dikuasai. Pengelolaan kelas menyangkut kepada menciptakan iklim atau kondisi belajar yang kondusif dan aksimal. Melalui penatan tempat duduk yang tepat diharapkan akan menfasilitasi siswa untuk belajar dengan aktif. Adapun saran yang dapat dilakukan dalam penatan tempat duduk seperti:
Menentukan posisi tempat duduk yang disesuaikan dengan metode pembelajaran dan tujuan pembelajaran.
Kondisi baik bentuk, ukuran tempat duduk harus baik dan pas
Menggunakan tempat duduk yang mudah diatur atau diubah-ubah untuk mempermudah merubah posisi tempat duduk
Penempatan siswa sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, misalnya menempatkan siswa yang berpostur tingi di belakang, menempatkan siswa yang hiper aktif di depan sehingga guru mudah untuk memantau.
===================================================
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat. 2008. Teknik Pengelolaan Kelas. http://akhmadsudrajat.wordpress.com.
Anita Lie. 2007. Cooperative Learning (Memperaktikan Cooperatif Learning di Ruang-ruang Kelas). Jakarta: PT Grasindo
Udin S. Winataputra. 2003. Srategi Belajar mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional
http://udhiexz.wordpress.com/2008/05/27/pengelolaan-kelas
Epa Muhopilah*)) adalah mahasiswa tingkat IV pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah seminar Ilmu Manajemen, yang disampaikan oleh Bapak Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd. dan Bapak Akhmad Sudrajat, M.Pd.

KOMPETENSI GURU DAN PERAN KEPALA SEKOLAH

KOMPETENSI GURU DAN PERAN KEPALA SEKOLAH

Oleh : Akhmad Sudrajat*

Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah.

A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru.

Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.

Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.

B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”

Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.

Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.

Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
  1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
  2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
  3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
    Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
  4. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
  5. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
  6. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
  7. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.

Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:


1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.2. Kepala sekolah sebagai manajerDalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.3. Kepala sekolah sebagai administratorKhususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.4. Kepala sekolah sebagai supervisorUntuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerjaBudaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)7. Kepala sekolah sebagai wirausahawanDalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.Sumber Bacaan :Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK & SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya———–. 2006. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/ inlink. (accessed 9 Feb 2003).Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation, Linköping University.Mary E.Dilworth & David G. Imig. Professional Teacher Development and the Reform Agenda. ERIC Digest. 1995. . (Accessed 31 Oct 2002 ).National Board for Professional Teaching Standards. 2002 . Five Core Propositions. NBPTS HomePage.. (Accessed, 31 Oct 2002).Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar di Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU dan Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan


Mithos tentang Kreativitas
Aplikasi Teori Kebutuhan Maslow di Sekolah »
Penelitian Tindakan Kelas
Diterbitkan Januari 21, 2008 kurikulum dan pembelajaran Tags: artikel, berita, Blog Indonesia, inovasi, KTSP, opini, pendidikan, penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)
A. PENGERTIAN
Classroom action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian “riset-tindakan-riset-tindakan- …”, yang dilakukan secara siklik, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua di antaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama.
Action research termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. Action research berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general). Action research lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai latar yang mirip dengan yang dimliki peneliti.
Perbedaan antara penelitian formal dengan classroom action research disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan antara Penelitian Formal dengan Classroom Action Research
Penelitian Formal
Classroom Action Research
Dilakukan oleh orang lain
Dilakukan oleh guru/dosen
Sampel harus representatif
Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan
Instrumen harus valid dan reliabel
Instrumen yang valid dan reliabel tidak diperhatikan
Menuntut penggunaan analisis statistik
Tidak diperlukan analisis statistik yang rumit
Mempersyaratkan hipotesis
Tidak selalu menggunakan hipotesis
Mengembangkan teori
Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung
B. MODEL - MODEL ACTION RESEARCH
Model Kurt Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari berbagai model action research, terutama classroom action research. Dialah orang pertama yang memperkenalkan action research. Konsep pokok action research menurut Kurt Lewin terdiri dari empat komponen, yaitu : (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen itu dipandang sebagai satu siklus.
Model Kemmis & Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan Kurt lewin seperti yang diuraikan di atas, hanya saja komponen acting dan observing dijadikan satu kesatuan karena keduanya merupakan tindakan yang tidak terpisahkan, terjadi dalam waktu yang sama
C. MASALAH CAR
Berikut ini merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada saat menentukan masalah CAR.
1. Banyaknya Masalah yang Dihadapi Guru
Setiap hari guru mengahadapi banyak masalah, seakan-akan masalah itu tidak ada putus-putusnya. Oleh karena itu guru yang tidak dapat menemukan masalah untuk CAR sungguh ironis. Merenunglah barang sejenak, atau ngobrollah dengan teman sejawat, Anda akan segera menemukan kembali seribu satu masalah yang telah merepotkan Anda selama ini.
2. Tiga Kelompok Masalah Pembelajaran
Masalah pembelajaran dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu (a) pengorganisasian materi pelajaran, (b) penyampaian materi pelajaran, dan (c) pengelolaan kelas. Jika Anda berfikir bahwa pembahasan suatu topik dari segi sejarah dan geografi secara bersama-sama akan lebih bermakna bagi siswa daripada pembahasan secara sendiri-sendiri, Anda sedang berhadapan dengan masalah pengorganisasian materi. Jika Anda suka dengan masalah metode dan media, sebenarnya Anda sedang berhadapan dengan masalah penyampaian materi. Apabila Anda menginginkan kerja kelompok antar siswa berjalan dengan lebih efektif, Anda berhadapan dengan masalah pengelolaan kelas. Jangan terikat pada satu kategori saja; kategori lain mungkin mempunyai masalah yang lebih penting.
3. Masalah yang Berada di Bawah Kendali Guru
Jika Anda yakin bahwa ketiadaan buku yang menyebabkan siswa sukar membaca kembali materi pelajaran dan mengerjakan PR di rumah, Anda tidak perlu melakukan CAR untuk meningkatkan kebiasaan belajar siswa di rumah. Dengan dibelikan buku masalah itu akan terpecahkan, dan itu di luar kemampuan Anda. Dengan perkataan lain yakinkan bahwa masalah yang akan Anda pecahkan cukup layak (feasible), berada di dalam wilayah pembelajaran, yang Anda kuasai. Contoh lain masalah yang berada di luar kemampuan Anda adalah: Kebisingan kelas karena sekolah berada di dekat jalan raya.
4. Masalah yang Terlalu Besar
Nilai UAN yang tetap rendah dari tahun ke tahun merupakan masalah yang terlalu besar untuk dipercahkan melalui CAR, apalagi untuk CAR individual yang cakupannya hanya kelas. Faktor yang mempengaruhi Nilai UAN sangat kompleks mencakup seluruh sistem pendidikan. Pilihlah masalah yang sekiranya mampu untuk Anda pecahkan.
5. Masalah yang Terlalu Kecil
Masalah yang terlalu kecil baik dari segi pengaruhnya terhadap pembelajaran secara keseluruhan maupun jumlah siswa yang terlibat sebaiknya dipertimbangkan kembali, terutama jika penelitian itu dibiayai oleh pihak lain. Sangat lambatnya dua orang siswa dalam mengikuti pelajaran Anda misalnya, termasuk masalah kecil karena hanya menyangkut dua orang siswa; sementara masih banyak masalah lain yang menyangkut kepentingan sebagian besar siswa.
6. Masalah yang Cukup Besar dan Strategis
Kesulitan siswa memahami bacaan secara cepat merupakan contoh dari masalah yang cukup besar dan strategis karena diperlukan bagi sebagian besar mata pelajaran. Semua siswa memerlukan keterampilan itu, dan dampaknya terhadap proses belajar siswa cukup besar. Sukarnya siswa berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan ketidaktahuan siswa tentang meta belajar (belajar bagaimana belajar) merupakan contoh lain dari masalah yang cukup besar dan strategis. Dengan demikian pemecahan masalah akan memberi manfaat yang besar dan jelas.
7. Masalah yang Anda Senangi
Akhirnya Anda harus merasa memiliki dan senang terhadap masalah yang Anda teliti. Hal itu diindikasikan dengan rasa penasaran Anda terhadap masalah itu dan keinginan Anda untuk segera tahu hasil-hasil setiap perlakukan yang diberikan.
8. Masalah yang Riil dan Problematik
Jangan mencari-cari masalah hanya karena Anda ingin mempunyai masalah yang berbeda dengan orang lain. Pilihlah masalah yang riil, ada dalam pekerjaan Anda sehari-hari dan memang problematik (memerlukan pemecahan, dan jika ditunda dampak negatifnya cukup besar).
9. Perlunya Kolaborasi
Tidak ada yang lebih menakutkan daripada kesendirian. Dalam collaborative action reseach Anda perlu bertukar fikiran dengan guru mitra dari mata pelajaran sejenis atau guru lain yang lebih senior dalam menentukan masalah.
D. IDENTIFIKASI, PEMILIHAN, DESKRIPSI, DAN RUMUSAN MASALAH
1. Identifikasi Masalah
Dalam mengidentifikasikan masalah, Anda sebaiknya menuliskan semua masalah yang Anda rasakan selama ini.
2. Pemilihan Masalah
Anda tidak mungkin memecahkan semua masalah yang teridentifikasikan itu secara sekaligus, dalam suatu action research yang berskala kelas. Masalah-masalah itu berbeda satu sama lain dalam hal kepentingan atau nilai strategisnya. Masalah yang satu boleh jadi merupakan penyebab dari masalah yang lain sehingga pemecahan terhadap yang satu akan berdampak pada yang lain; dua-duanya akan terpecahkan sekaligus. Untuk dapat memilih masalah secara tepat Anda perlu menyusun masalah-masalah itu berdasarkan kriteria tersebut: tingkat kepentingan, nilai strategis, dan nilai prerekuisit. Akhirnya Anda pilih salah satu dari masalah-masalah tersebut, misalnya “Siswa tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain.”
3. Deskripsi Masalah
Setelah Anda memilih salah satu masalah, deskripsikan masalah itu serinci mungkin untuk memberi gambaran tentang pentingnya masalah itu untuk dipecahkan ditinjau dari pengaruhnya terhadap pembelajaran secara umum maupun jumlah siswa yang terlibat.
Contoh: “Jika diberi pelajaran dengan pendekatan terpadu antara geografi, ekonomi, dan sejarah siswa merasa sukar mentransfer keterampilan dari satu pelajaran ke pelajaran lain. Pelajaran yang saya berikan adalah geografi, tetapi saya sering mengaitkan pembahasan dengan mata pelajaran lain seperti ekonomi dan sejarah. Ketika saya minta siswa mengemukakan hipotesis tentang pengaruh Danau Toba terhadap perkembangan ekonomi daerah, siswa terasa sangat bingung; padahal mereka telah dapat mengemukakan hipotesis dengan baik dalam mata pelajaran geografi. Saya khawatir siswa hanya menghafal pada saat dilatih mengemukakan hipotesis. Padahal dalam kehidupan sehari-hari keterampilan berhipotesis harus dapat diterapkan di mana saja dan dalam bidang studi apa saja. Pada hakikatnya setiap hari kita mengemukakan hipotesis. Ketidakbisaan siswa itu terjadi sepanjang tahun, tidak hanya pada permulaan tahun ajaran. Kelihatannya semua siswa mengalami hal yang sama, termasuk siswa yang cerdas. Guru lain ternyata juga mengalami hal yang sama, siswanya sukar mentransfer suatu keterampilan ke mata pelajaran lain.”
4. Rumusan Masalah
Setelah Anda memilih satu masalah secara seksama, selanjutnya Anda perlu merumuskan masalah itu secara komprehensif dan jelas. Sagor (1992) merinci rumusan masalah action research menggunakan lima pertanyaan:
1. Siapa yang terkena dampak negatifnya?
2. Siapa atau apa yang diperkirakan sebagai penyebab masalah itu?
3. Masalah apa sebenarnya itu?
4. Siapa yang menjadi tujuan perbaikan?
5. Apa yang akan dilakukan untuk mengatasi hal itu? (tidak wajib, merupakan hipotesis tindakan).
Contoh rumusan masalah:
· Siswa di SLTP-X tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain di sekolah (Ini menjawab pertanyaan 1 dan 3)
· Grup action research percaya bahwa hal ini merupakan hasil dari jadwal mata pelajaran dan cara guru mengajarkan materi tersebut (Ini menjawab pertanyaan 2)
· Kita menginginkan para siswa melihat relevansi kurikulum sekolah, mengapresiasi hubungan antara disiplin-disiplin akademis, dan dapat menerapkan keterampilan yang diperoleh dalam satu mata pelajaran untuk pemecahan masalah dalam mata pelajaran lain (Ini menjawab pertanyaan 4)
· Oleh karena itu kita merencanakan integrasi pembelajaran IPA, matematika, bahasa, dan IPS dalam satuan pelajaran interdisiplin berjudul Masyarakat dan Teknologi (Ini manjawab pertanyaan 5)
Contoh pertanyaan penelitian:
1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain?
2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai?
3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran?
4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal?
E. KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
1. Kajian Teori
Dalam membuat rumusan masalah di atas sebenarnya Anda telah melakukan “analisis penyebab masalah” sekaligus membuat “hipotesis tindakan” yang akan diberikan untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk melakukan analisis secara tajam dan menjustifikasi perlakuan yang akan diberikan, Anda perlu merujuk pada teori-teori yang sudah ada. Tujuannya sekedar meyakinkan bahwa apa yang Anda lakukan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Dalam hal ini proses kolaborasi memegang peranan yang sangat penting.
Anda juga perlu membaca hasil penelitian terakhir, termasuk CAR, siapa tahu apa yang akan Anda lakukan sudah pernah dilakukan oleh orang lain; Anda dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang itu. Manfaat lain yang lebih penting, Anda akan mengetahui trend-trend baru yang sedang diperhatikan atau diteliti oleh para guru di seluruh dunia. Sekarang ini sedang nge-trend pembelajaran yang bernuansa quantum teaching, quantum learning, contextual learning, integrated curriculum, dan competency based curriculum yang semua berorientasi pada kepentingan siswa. Jika penelitian Anda masih berkutat pada pemberian drill dan PR agar nilai UAN mereka meningkat, tanpa memperdulikan rasa ketersiksaan siswa, profesionalisme Anda akan dipertanyakan.
2. Hipotesis Tindakan
Lakukanlah analisis penyebab masalah secara seksama agar tindakan yang Anda rencanakan berjalan dengan efektif. Hipotesis tindakan dapat Anda tuliskan secara eksplisit, tetapi dapat juga tidak karena pada dasarnya Anda belum tahu tindakan mana yang akan berdampak paling efektif.
F. METODOLOGI
1. Setting Penelitian
Setting penelitian perlu Anda uraikan secara rinci karena penting artinya bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Mereka tentu akan mempertimbangkan masak-masak apakah ada kemiripan antara setting sekolahnya dengan setting penelitian Anda.
2. Perbedaan Mengajar Biasa dengan CAR
Dalam melakukan CAR kegiatan mengajar standar (biasa) berlangsung secara alami; tetapi ada bagian-bagian tertentu yang diberi perlakuan secara khusus dan diamati dampaknya secara seksama. Langkah-langkah seperti pembuatan satuan pelajaran, rencana pelajaran, lembaran kerja, dan alat bantu pembelajaran lainnya adalah langkah pembelajaran standar, bukan CAR. Asumsinya CAR dilaksanakan oleh guru yang sudah melaksanakan pembelajaran standar secara lengkap tetapi belum berhasil. Ia akan memodifikasi bagian-bagian tertentu dari pembelajaran standar itu. Bagian yang dimodifikasi itulah fokus dari CAR Anda.
3. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan CAR sebaiknya hanya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan CAR. Jika ada perubahan pada satuan pelajaran misalnya, hanya bagian yang diubah saja yang perlu diuraikan secara rinci. Akan lebih baik jika perubahan itu diletakkan dalam konteks satuan pelajaran aslinya sehingga terlihat jelas besar perubahan yang dilakukan. Perangkat-perangkat pembelajaran juga hanya tambahannya yang diuraikan secara rinci. Jika pembelajaran standar telah dilaksanakan dengan baik perangkat pembelajaran yang diperlukan untuk CAR dengan sendirinya sebagian besar sudah tersedia.
Yang sering terjadi dalam CAR selama ini pembelajaran standar belum dilaksanakan sehingga CAR menjadi wahana untuk mewujudkan pembelajaran standar. Hal itu terlihat dari latar belakang yang diuraikan secara emosional oleh peneliti, umumnya menggambarkan pembelajaran yang sangat tradisional, buruk, dan di bawah standar. Setelah sekolah mendapat bantuan dana peningkatan kualitas pembelajaran pun uraian latar belakang itu tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Secara tidak langsung ditunjukkan bahwa perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh pemberi dana selama ini berlalu tanpa bekas.
Tahap perencanaan bisa memerlukan waktu setengah bulan karena harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk di dalamnya adalah penyusunan jadwal, pembuatan instrumen, dan pemilihan kolaborator.
4. Siklus-siklus
Dalam CAR siklus merupakan ciri khas yang membedakannya dari penelitian jenis lain; oleh karena itu siklus harus dilaksanakan secara benar. Siklus pada hakikatnya adalah rangkaian “riset-aksi-riset-aksi- …” yang tidak ada dalam penelitian biasa. Dalam penelitian biasa hanya terdapat satu riset dan satu aksi kemudian disimpulkan. Dalam CAR hasil yang belum baik masih ada kesempatan untuk diperbaiki lagi sampai berhasil.
Siklus terdiri dari (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi; dan (5) perencanaan kembali. Yang diuraikan dalam siklus hanya bagian yang dimodifikasi melalui action reseach, bukan seluruh proses pembelajaran. Modifikasi atau perubahan secara total jarang dilakukan dalam action research yang berskala kelas karena bagaimanapun sistem pendidikan secara umum masih belum berubah.
Misalnya Anda akan memodifikasi pembelajaran dengan memperbanyak penggunaan carta. Dalam “perencanaan” yang Anda uraikan adalah tentang carta itu saja, misalnya “Tiap pertemuan diusahakan akan ada carta yang digunakan dalam kelas.” Dalam “pelaksanaan” Anda uraikan kenyataan yang terjadi, apakah benar tiap pertemuan bisa digunakan carta, misalnya “Penggunaan carta tiap pertemuan hanya dapat dilakukan selama dua minggu pertama; minggu berikutnya rata-rata hanya satu carta tiap empat pertemuan.” Anda tentu saja dapat mengelaborasi “pelaksanaan” itu dengan menyebutkan carta-carta apa saja yang digunakan, saat-saat mana yang paling tepat untuk penggunaan, siapa yang menggunakan, berapa lama digunakan, berapa ukurannya, di mana disimpan, dsb., dsb. “Pengamatan” didominasi oleh data-data hasil pengukuran terhadap respons siswa, menggunakan berbagai instrumen yang telah disiapkan. “Refleksi” berisi penjelasan Anda tentang mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan, diakhiri dengan perencanaan kembali untuk perlakuan pada siklus berikutnya.
Dalam action reseach selama ini banyak siklus yang bersifat semu, tidak sesuai dengan kaidah yang sudah baku. Inilah kelemahan-kelemahan yang terjadi.
1. Dalam siklus diuraikan semua proses pembelajaran, sehingga tidak dapat dilihat bagian yang sebenarnya sedang diteliti. Seolah-olah seluruh proses pembelajaran diubah secara total melalui CAR, dan sebelumnya pembelajaran berlangsung secara tradisional, buruk, dan di bawah standar.
2. Tidak jelas apakah perlakuan dalam suatu siklus dilakukan secara terus-menerus selama periode tertentu, sampai data pengamatan bersifat jenuh (menunjukkan pola yang menetap) dan diperoleh dari berbagai sumber (triangulasi). Sebagai analogi, jika selama satu minggu suhu badan pasien menunjukkan suhu 37,50 C; 370 C; 370 C; 37,50 C; 37,50 C; 37,50 C; dapatlah disimpulkan bahwa kondisinya telah kembali normal. Itu digabungkan dengan data pengamatan lain selama seminggu juga seperti perilaku, nafsu makan, dan denyut nadi pasien, yang bersifat triangulatif.
3. Siklus dilakukan tidak berdasarkan refleksi dari siklus sebelumnya. Ada siklus yang dilakukan secara tendensius: siklus pertama dengan metode ceramah, siklus kedua dengan demonstrasi, dan siklus ketiga dengan eksperimen, hanya ingin menunjukkan bahwa metode eksperimen adalah yang terbaik. Peneliti ini lupa bahwa metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran. Untuk materi pertama boleh jadi justru metode ceramah yang lebih cocok.
5. Instrumen
Instrumen merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan CAR. Jenis instrumen harus sesuai dengan karakteristik variabel yang diamati. Triangulasi dan saturasi (kejenuhan informasi) perlu diperhatikan untuk menjamin validitas data.
G. HASIL PENELITIAN
1. Siklus-siklus Penelitian
Hasil penelitian CAR tidak hanya berisi data hasil observasi, melainkan justru proses perbaikan yang dilakukan. Untuk itu siklus adalah cara yang tepat untuk menyajikan hasil penelitian. Data hasil observasi tidak disajikan secara terpisah melainkan dalam konteks siklus-siklus yang telah dilakukan.
2. Tabel, Diagram, dan Grafik
Tabel, diagram, dan grafik sangat baik digunakan untuk menyajikan data hasil observasi. Gunanya agar refleksi dapat dilakukan lebih mudah. Tetapi sajian yang cantik itu bisa menjadi blunder manakala angka-angkanya diatur sedemikain rupa sehingga terkesan artificial. Hasil yang begitu spektakuler seringkali tidak disertai dengan “bagaimana” proses untuk mencapainya, sehingga pembaca akan makin ragu.
3. Hasil-hasil yang Otentik
Hasil-hasil yang otentik seperti karangan siswa, gambar hasil karya siswa, dan foto tentang proyek yang dilakukan siswa akan sangat baik dicantumkan sebagai hasil penelitian.
H. KESIMPULAN CAR
1. Kesimpulan
Kesimpulan tentu saja harus menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis yang telah dikemukakan. Pertanyaan penelitian pada bagian D4 di atas di samping menuntut jawaban yang berupa hasil juga menuntut prosesnya. Marilah kita lihat pertanyaan-pertanyaan itu sekali lagi.
1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diperoleh melalui tes awal dan atau selama proses pembelajaran berlangsung. Walaupun baru berupa daftar kesulitan yang dialami siswa, temuan ini cukup berarti bagi guru-guru lain. Kita sendiri pada saat ini belum bisa membayangkan kesulitan-kesulitan tersebut.
2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai ? Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah guru menghubungkan berbagai mata pelajaran dalam materi tes awal atau selama pembelajaran berlangsung, misalnya antara fisika dengan biologi, ekonomi dengan sejarah, dan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran ? Kesimpulan ini dapat diperoleh melalui kuesioner dan atau wawancara pada awal pembelajaran atau selama pembelajaran berlangsung.
4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal ?Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah siswa diberi perlakukan yang berbeda; misalnya satu kelas diberi pelajaran multi disiplin, dan kelas lain diberi pelajaran yang terpisah-pisah, seperti biasanya. Ini tampaknya merupakan fokus dari CAR. Jika ditemukan bahwa mata pelajaran multidisiplin lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan transfer keterampilan antar mata pelajaran, peneliti perlu mengelaborasi bagaimana proses pembelajaran model multidisiplin tersebut berlangsung.
Jadi kesimpulan penelitian CAR akan kurang bermanfaaat jika bunyinya hanya seperti: “Pembelajaran dengan media akan meningkatkan hasil belajar siswa.” Kesimpulan ini mirip dengan yang diinginkan penelitian kuantitatif. Guru lain yang membaca kesimpulan ini tentu ingin mengetahui bagaimana prosesnya sehingga media itu bisa meningkatkan hasil belajar. Jadi kesimpulan itu masih harus diikuti dengan proses atau rinciannya, seperti a) Transparansi OHP lebih disukai siswa daripada media lain, b) Paling banyak hanya 10 transparansi dapat ditunjukkan dalam satu presentasi, jika lebih dari itu siswa akan bosan; c) Presentasi pada awal pembelajaran cenderung lebih disukai; d) Penjelasan yang terlalu lama terhadap satu transparansi cenderung membuat siswa bosan; dan e) Satu kali presentasi sebaiknya tidak lebih dari 20 menit.
2. Saran
Karena CAR bersifat kontekstual, pemberian saran kepada orang lain berdasarkan hasil penelitian tersebut sebenarnya kurang bermanfaat. Deskripsi konteks penelitian secara rinci sudah cukup untuk memberikan informasi bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Saran seperti “Program CAR ini perlu lanjutkan dan diperluas untuk tahun-tahun mendatang,” juga kurang begitu perlu, bahkan kurang relevan.
Saran CAR diperlukan misalnya jika temuan penelitian menyangkut sistem yang lebih luas dari sekedar kelas, misalnya menghendaki adanya perubahan pengaturan jadwal pelajaran di sekolah. Dalam hal itu peneliti dapat menyarankan tentang jadwal yang diinginkan kepada fihak sekpolah.
I. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka mencerminkan penguasaan Anda atas teori belajar dan pembelajaran yang Anda minati. Di samping itu, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, daftar pustaka mencerminkan keluasan pengetahuan Anda atas penelitian-penelitien terbaru yang sedang ngetren. Selama ini guru peneliti sering mencantumkan nama-nama ahli pendidikan, psikologi, dan pembelajaran tetapi tidak disertai dengan daftar pustakannya. Buatlah daftar pustaka secara cermat.
Sumber : Dr. Supriyadi M. Pd.*)) disajikan dalam Workshop MKKS Tingkat Pusat yang Diselenggarakan olah Direktorat Pendidikan Menengah Umum 12-15 September 2005 di Hotel Evergreen, Cisarua, Bogor.
*) Dr. Supriyadi M. Pd. adalah staf pengajar pada Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta.

Tulisan lain tentang Penelitian Tindakan Kelas disampaikan pula oleh Drs. Tatang Sunendar dari LPMP Jawa Barat, tulisan disajikan dalam bentuk tayangan slide.
Silahkan klik tautan di bawah ini!

Penelitian Tindakan Kelas (Part II)
Diterbitkan Maret 21, 2008 kurikulum dan pembelajaran Tags: artikel, berita, Blog Indonesia, inovasi, KTSP, manajemen pendidikan, opini, pendidikan
Penelitian Tindakan Kelas
oleh: Drs. Tatang Sunendar, M.Si.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat
A. Latar Belakang
Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai.
Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti.
B. Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ?
Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru :
1. PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya
2. PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya.
3. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya.
4. Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
5. Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
6. Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi; meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.
C. Hakikat Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.
PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya.
Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.
Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart, 1988).
Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah) dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan (c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut dilaksanakan (Harjodipuro, 1997).
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk menjadi dewasa.
Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis, realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua “ aksinya di depan kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya. Apabila di dalam pelaksanaan “aksi” nya masih terdapat kekurangan, dia akan bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.
D. Jenis dan Model PTK
Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei, analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik. Dikatakan sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.
Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.
1. Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
2. Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil.
3. Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator. Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya penelitian.
4. Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah.
5. Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya.
6. Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya.
E. Jenis Penelitian Tindakan Kelas
Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.
1. PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
2. PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
3. PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
4. PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.
F. Model-model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt.
1. Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
2. Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini.
SIKLUS PELAKSANAAN PTK
Gambar 4: Riset Aksi Model John Elliot
G. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu Tahapan Pra PTK, yang meliputi:
· Identifikasi masalah
· Analisis masalah
· Rumusan masalah
· Rumusan hipotesis tindakan
Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan guna menuntut pelaksanaan tahapan PTK adalah sebagai berikut ini.
1. Apa yang memprihatinkan dalam proses pembelajaran?
2. Mengapa hal itu terjadi dan apa sebabnya?
3. Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi keprihatinan tersebut?
4. Bukti-bukti apa saja yang dapat dikumpulkan untuk membantu mencari fakta apa yang terjadi?
5. Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut?
Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya. Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain.
Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat.
1. Perencanaan Tindakan; berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan.
2. Pelaksanaan Tindakan; tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan.
3. Pengamatan Tindakan; kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat empat metode observasi, yaitu : observasi terbuka; observasi terfokus; observasi terstruktur dan dan observasi sistematis. Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam observasi, diantaranya :(a) ada perencanaan antara dosen/guru dengan pengamat; (b) fokus observasi harus ditetapkan bersama; (c) dosen/guru dan pengamat membangun kriteria bersama; (d) pengamat memiliki keterampilan mengamati; dan (e) balikan hasil pengamatan diberikan dengan segera. Adapun keterampilan yang harus dimiliki pengamat diantaranya : (a) menghindari kecenderungan untuk membuat penafsiran; (b) adanya keterlibatan keterampilan antar pribadi; (c) merencanakan skedul aktifitas kelas; (d) umpan balik tidak lebih dari 24 jam; (d) catatan harus teliti dan sistemaris
4. Refleksi Terhadap Tindakan; tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih.Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Tentu saja kadar ketajaman proses refleksi ini ditentukan oleh kejataman dan keragaman instrumen observasi yang dipakai sebagai upaya triangulasi data. Observasi yang hanya mengunakan satu instrumen saja. Akan menghasilkan data yang miskin.Adapun untuk memudahkan dalam refleksi bisa juga dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siiklus selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator.
Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral.
Kapan siklus-siklus tersebut berakhir? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh si peneliti sendiri. Kalau dia sudah merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dia lakukan, maka dia akan mengakhiri siklus-siklus tersebut. Selanjutnya, dia akan melakukan satu identifikasi masalah lain dan kemudian diikuti oleh tahapan-tahapan PTK baru guna mencari solusi dari masalah tersebut.