Senin, 08 November 2010

INDONESIA PERLU PEMIMPIN AUTENTIK

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #16
 
Yuddy Chrisnandi – Calon Ketua Umum Golkar

Politisi muda yang banyak mewarnai dinamika politik lima tahun belakangan ini salah satunya adalah Yuddy Chrisnandi. Menjadi presiden adalah cita-citanya. Memerangi 5K adalah visinya.Sebagai anggota Komisi I DPR, dia banyak mengkritik kebijakan pertahanan dan luar negeri. Dia juga pernah memotori hak interpelasi terhadap kebijakan pemerintah yang mendukung Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1747 tentang Perluasan Sanksi pada Iran. Interpelasi ini mendapat dukungan sangat besar.

Yuddy juga satu-satunya anggota Fraksi Partai Golkar yang mendukung hak angket kenaikan harga bahan bakar minyak. Karena sikapnya itu, dia bahkan sempat dikenai sanksi.

Pada Pemilu Presiden 2009, dia ikut mencalonkan diri. Karena Golkar tidak mengadakan konvensi capres, dia pun mengikuti Konvensi Capres Dewan Integritas Bangsa. Dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar, Oktober 2009, dia termasuk salah satu dari empat calon Ketua Umum Partai Golkar, tetapi gagal. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Yuddy saat ditemui di kediamannya di Tebet Barat, Jakarta, baru-baru ini.

Bagaimana Anda memandang Indonesia kini dan mendatang?
Indonesia harus memegang teguh cita-cita kemerdekaannya, yaitu membentuk pemerintahan berdaulat yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, dan turut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial.

Cita-cita itu masih jauh dari harapan. Nelayan kecil saat menangkap ikan masih dikalahkan kapal besar asing ilegal. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri juga belum seluruhnya dilindungi. Berapa banyak warga negara yang punya rumah? Berapa banyak yang terlayani kesehatan? Berapa banyak yang minum air bersih dibanding minum air penuh bakteri dan penyakit?

Persoalan mendasar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah 5K, yaitu kemiskinan, kebodohan, keadilan, korupsi, dan kemandirian.

Konflik institusi penegak hukum antara kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang sekarang ini terjadi menunjukkan kemunduran dari proses penegakan keadilan.

Sampai akhir tahun 2008, Transparency International meperkirakan tingkat kebocoran APBN masih sekitar 30 persen. Berarti dari Rp 1.037 triliun anggaran tahun fiskal 2009, ada sekitar Rp 310 triliun yang dikorup. Padahal, anggaran pertahanan kita saja hanya sekitar Rp 37 triliun, anggaran kesehatan hanya Rp 27 triliun.
Kasus Century yang menyedot uang negara Rp 6,7 triliun juga jelas merupakan skandal terbesar di era Reformasi. Bank kecil diberi fasilitas bailout (talangan) Rp 6,7 triliun tanpa melalui testimoni di DPR. Kasus ini jelas merupakan kejahatan pemerintah dan pengingkaran terhadap otoritas rakyat. Lebih parah lagi, pemerintah pun tidak menunjukkan itikad untuk mengusut tuntas, bahkan terkesan menutupi.

Kemiskinan dan kebodohan pun jalan di tempat. Angka kemiskinan belum bergerak jauh dari 1998. Sensus tahun 2005 juga menunjukkan bahwa penduduk di perguruan tinggi hanya 5,1 persen, berarti sekitar 12 juta dari 230 juta.

Apalagi bicara soal ketergantungan asing, nothing change, tidak berubah. Justru sekarang terkesan semakin dekat dengan kepentingan asing, bukan menjauh. Perusahaan asing yang bergerak di bidang energi, minyak, gas, tambang, lebih kurang mencapai 80 persen. Bagaimana kita bisa mengetahui kemampuan eksplorasi kita ketika dominasi asing begitu kuat.

Oleh karena itu, agenda saya memerangi 5K. Bukan hanya mengurangi kemiskinan, mengurangi kebodohan, atau memberantas korupsi. Kita harus mengambil kata kerja yang terefleksikan dalam tindakan. Seluruh instrumen negara harus digerakkan untuk memerangi.

Indonesia juga harus siap menghadapi lima tantangan global. Pertama, kesenjangan sosial yang semakin melebar karena akan ada 1,2 miliar penduduk dari 3,2 miliar penduduk di dunia ini akan tersingkir. Kedua, terjadinya perubahan iklim dan krisis pangan dan energi yang akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan konflik di berbagai belahan dunia. Ketiga, terjadinya dekadensi moral yang merusak tata nilai. Keempat, menghadapi tekanan kompetisi ahli yang membuat ketergantungan. Kelima, keluar dari jerat utang dan krisis moneter.

Utang Indonesia yang mencapai Rp 1.668 triliun itu sama sekali tidak bisa dianggap enteng karena hampir 1,5 persen APBN. Sama seperti utang seseorang yang mencapai Rp 7,5 juta, padahal pendapatannya satu bulan Rp 5 juta. Kalau seluruh pendapatannya pun hendak dibayarkan tidak akan cukup karena masih utang Rp 2,5 juta dan ekonomi rumah tangga tidak bisa bergerak.

Pemimpin masa depan Indonesia harus mampu membaca apa yang akan terjadi di masa depan. Indonesia masa depan harus menjadi bangsa yang survive dan dihormati di tengah peradaban dunia, yaitu kuat secara ekonomi dan pertahanan.

Apa yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan itu?
Indonesia sesungguhnya memiliki modal utama, yaitu letak geografis, sumber daya alam, dan keragaman budaya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan Indonesia hanya pengelolaan yang baik. Karena itu, Indonesiaharus memiliki pemimpin yang autentik, pemimpin yang dibutuhkan zaman. Untuk menjadi pemimpin autentik, selain harus pintar dan berintegritas, harus juga memiliki trinitas, yaitu religiusitas, nasionalisme, dan sosialisme.

Religiusitas penting agar sebagai pemimpin tertinggi mempunyai rasa takut untuk mempertanggungjawabkan semuanya pada Tuhan, yang direfleksikan dengan menjalankan konstitusi dan aturan secara benar. Seorang pemimpin yang sudah mengakali konstitusi, dia pasti bukan pemimpin religius.

Pemimpin yang nasionalis menjadi representasi keragaman bangsanya. Kalau saya jadi presiden, bukan presiden untuk orang Sunda, tetapi untuk bangsa Indonesia yang terbentang dari Aceh sampai Papua. Dia juga tidak hanya memakmurkan satu kelompok agamanya atau budayanya saja.

Pemimpin sosialis, yaitu cinta pada rakyat. Dia sadar betul lahir dari rahim rakyat dan sumber inspirasi kewenangan yang dimiliki. Kovenan dari filosof besar Jean Jacques Rousseau bahwa rakyat itu telah menitipkan sebagian dari jiwa raganya pada pemimpin untuk melindungi dan mewujudkan cita-citanya. Dengan merasakan mandat itu, pemimpin bisa bermetamorfosa menjadi pemimpin yang disebut filosof Thomas Hobbes sebagai Leviathan, raksasa yang baik. Dia sadar, besar karena rakyat dan harus melindungi rakyat, bukan melindungi kroni, partai, atau keluarga.

Apa yang akan Anda lakukan?
Cita cita perjuangan tidak boleh berhenti karena akan membuat kita mati dan tidak punya harapan. Tugas pemimpin juga memberikan pencerahan kepada orang di sekitar sehingga mau bahu-membahu melangkah menuju kemajuan.

Kemarin, saat mengikuti Konvensi Capres Dewan Integritas Bangsa, saya hanya sempat sosialisasi di kaum cendekiawan, belum sampai ke akar rumput karena waktu yang terlampau pendek. Hegemoni elite dan oligarki di partai politik sebagai institusi utama yang mengusung calon pemimpin formal juga sangat kuat. Tidak semua pemimpin parpol punya pandangan visioner yang menempatkan kepentingan bangsa di atas pragmatisme kekuasaan sehingga yang terjadi hanya berbagi kekuasaan dengan orang-orang yang bisa diaturnya dan menutup figur-figur alternatif.

Lima tahun ke depan tidak bisa dihindari harus ada alih generasi karena orang yang berkompetisi di 2009 sudah 65 tahun ke atas. Konstitusi juga tidak memungkinkan presiden menjabat lebih dari dua periode, kecuali ada skenario internasional yang berkolaborasi dengan kepentingan pragmatis di dalam negeri demi mengokohkan hegemoninya. 

Persoalan ini akan menjadi sama lima tahun mendatang kalau peran cendekiawan dan pemimpin muda tidak melakukan gerakan apa pun mulai hari ini dan hanya menunggu siklus lima tahunan. Hanya orang yang mampu mengerakkan mesin politik, birokrasi, dan materi kuat saja yang bisa mengusung calon pemimpinnya untuk menang meskipun tanpa cita cita kebangsaan yang diperjuangkan. Karena itu, selagi fajar baru menyingsing dan masih cukup waktu untuk menanti matahari terbenam, marilah bekerja menyadarkan rakyat bahwa ada tantangan yang sangat berat dan membutuhkan kerja sama antara rakyat dan pemimpinnya. Rakyat perlu betul-betul memberikan dukungan terhadap proses lahirnya pemimpin masa depan yang religius nasionalis kerakyatan.

Di sisi lain, semua pemimpin yang memiliki kesadaran sama harus mempersiapkan diri, mengasah,
saling mendukung, dan rela menitipkan cita-citanya ke mereka yang lebih baik. Yang terpenting, cita cita kebangsaan bisa diwujudkan dan semua orang di Indonesia bisa merasakan cita-cita kemerdekaan.



Oleh : Sutta Dharmasaputra / KOMPAS, Sabtu, 14 November 2009

Tidak ada komentar: