Senin, 08 November 2010

MENGALIR MENUJU MUARA YANG SAMA

Mengalir Menuju Muara yang Sama

”Mengapa semakin banyak petani yang kehilangan lahan?” Itulah kegelisahan pertama Usman Hamid saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, di saat-saat akhir pemerintahan Orde Baru. ”Itulah realitas politik,” jawab dosennya saat itu.

Kegelisahan terhadap realitas politik ini kian memuncak dalam diri Usman saat anak band yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini melihat empat temannya tewas, tertembak dalam peristiwa Trisakti pada 12 Mei 1998.

”Saat penembakan itu terjadi, saya menjadi calon Ketua Senat Fakultas Hukum. Saya merasa berdosa kepada teman-teman yang menjadi korban dan bertanya, mengapa peristiwa itu sampai terjadi?” kenangnya.
Refleksi terhadap peristiwa yang menjadi salah satu momentum jatuhnya Orde Baru itu membawa Usman ke petualangan baru yang akhirnya membentuk hidupnya sampai kini. Diawali dengan menjadi anggota Tim Investigasi yang dibentuk Universitas Trisakti (Usakti) untuk mengusut kasus 12 Mei 1998. Aktivitasnya terus bergerak menjadi Sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II yang dibentuk Komisi Nasional HAM, hingga meneruskan almarhum Munir menjadi nakhoda Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Peristiwa Trisakti juga membawa Usman bertemu dengan Munir yang saat itu menjadi Koordinator Badan Pekerja Kontras. Ketika Munir meninggal akibat dibunuh dalam penerbangan ke Belanda pada 7 September 2004, sejumlah pihak sempat menanyakan kelanjutan Kontras dan juga Usman. ”Sampai sekarang kami ternyata tetap eksis,” katanya kepada Kompas, Rabu (18/11) di Jakarta.

Apa yang membuat Anda dan Kontras tetap bertahan?
Ada cita-cita dan keputusan yang sama untuk bertindak di antara kami, yaitu ingin berperan serta membangun masyarakat yang lebih berpihak pada pemenuhan HAM. Ini berarti terciptanya masyarakat yang lebih kuat dan percaya pada martabatnya, serta adanya kebijakan bahwa kesempatan harus diprioritaskan kepada masyarakat yang paling dilemahkan.

Apakah isu gerakan masyarakat sipil, khususnya di bidang HAM, masih menarik?
Masih. Sebab masih banyak persoalan yang mengancam HAM, khususnya martabat kita sebagai manusia. Misalnya, makin kuatnya usaha untuk menunggalkan identitas dan menganggap yang berbeda identitas adalah ”makhluk” lain. Ini seperti pandangan sebagian orang Serbia yang menganggap orang Muslim bukan manusia. Ini pandangan yang berbahaya karena faktanya kita hidup di dunia yang beragam sehingga pluralisme adalah salah satu nilai kemanusiaan yang harus diterima.

Meski kekerasan oleh negara sudah berkurang, kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat justru kian sering terjadi. Ini karena sumber kekerasan ada tiga, yaitu politik, relasi ekonomi, dan struktur sosial masyarakat.

Seberapa kuat aktivitas masyarakat sipil mampu menjawab tantangan ini?
Gerakan masyarakat sipil memiliki tiga latar belakang. Pertama, diilhami upaya pembebasan dari kekuasaan militer seperti yang terjadi di Eropa Timur. Kedua, menciptakan struktur ekonomi yang lebih adil seperti yang diperjuangkan di Amerika Latin, dan ketiga, membangun persamaan jender atau struktur sosial seperti yang banyak diperjuangkan di Timur Tengah. Tiga gerakan itu sekarang ada di Indonesia. Di awal reformasi, gerakan di bidang keterbukaan politik lebih menonjol. Saat ini gerakan di bidang perbaikan relasi ekonomi dan struktur sosial perlu lebih diintensifkan sebab kekerasan masyarakat, antara lain, diakibatkan lemahnya kekuasaan pemerintah karena tergerus modal dan timpangnya struktur sosial ekonomi masyarakat. Ini membuat Kontras sekarang juga aktif dalam kegiatan seperti pembelaan terhadap korban penggusuran dan kekerasan struktural yang berbasis ekonomi.

Bagaimana manfaat gerakan masyarakat sipil di Indonesia?
Cukup efektif. Sekarang muncul kesadaran di masyarakat untuk jangan mudah diadu domba atau diprovokasi. Kerusuhan seperti yang pernah terjadi di Poso atau Maluku, sekarang lebih sulit untuk disulut.
Bagaimana tentang pendapat gerakan masyarakat sipil mulai kehilangan makna, karena isunya banyak digarap lembaga lain, seperti partai politik?

Justru pada saat ini gerakan masyarakat sipil makin dibutuhkan untuk berperan sebagai pemberi suara kritis kepada kekuasaan sebab parpol cenderung menjadi satu suara dan ada keengganan untuk menjadi oposisi. Padahal, demokrasi selalu mensyaratkan adanya oposisi agar tercipta saling kontrol dan keseimbangan.
Politik tak asing

Politik bukan barang baru bagi Usman. Bapaknya, almarhum Abdul Hamid, adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan aktivis Partai Persatuan Pembangunan. Ibunya, almarhumah Halimatus Sa’adiyah, adalah fungsionaris Partai Golkar.

”Ibu saya penggiat majelis taklim di Jakarta. Beliau punya buku besar berisi daftar anggotanya, lengkap dengan fotokopi KTP dan foto.

Dahulu di masa Orde Baru, jika ada kegiatan Golkar, ibu saya dapat dengan mudah mendatangkan banyak sekali anggotanya. Ini yang membuat beliau sering dipanggil Panglima Kodam untuk sekadar kopi pagi,” kata Usman.

Namun, menjelang akhir Orde Baru, lanjut Usman, ibunya memutuskan keluar dari politik.
Sepak terjang Usman membuat sejumlah partai menawarinya menjadi calon anggota legislatif (caleg). ”Ketika Pemilu 2009, ada tiga partai besar yang menawari saya. Saya berpendapat, untuk berjuang bagi Indonesia tidak perlu harus menjadi anggota DPR. Saya juga sudah merasa nyaman dan bersyukur karena yang saya lakukan selama ini menenteramkan batin,” katanya lagi.

Selain kurang menjanjikan secara finansial, yang Anda lakukan selama ini juga mengandung banyak risiko, seperti dialami almarhum Munir….

Teror memang sering ada, tak hanya saya, namun juga (almarhumah) ibu, mulai dari melalui pesan singkat, telepon misterius, sampai ditawari uang dan kamar hotel. Kantor Kontras juga pernah diserang dan dirusak sekelompok orang pada 13 Maret 2002. Teror ini biasanya muncul saat kami mulai atau berhasil membongkar suatu kasus.

Saya bukannya tak memiliki rasa takut dalam menghadapi teror itu. Namun, seperti yang disampaikan Munir, kita harus lebih takut pada ketakutan itu sendiri sebab rasa takut akan menghilangkan rasionalitas dan akal sehat kita.

Kasus pembunuhan Munir belum terungkap. Kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya juga belum selesai. Bagaimana Anda melihatnya?
Masa lalu masih menjadi masa kini ketika, misalnya, seorang ibu masih mempertanyakan dan mengunjungi kubur anaknya yang menjadi korban pelanggaran HAM. Karena itu, kasus masa lalu itu tetap harus diungkap. Meski sampai sekarang hasil perjuangan ini belum maksimal, dengan berbagai usaha dan aksi kami, setidaknya masyarakat selalu diingatkan di masa lalu pernah ada persoalan, seperti kerusuhan, penembakan, dan penculikan aktivis. Ingatan itu adalah modal penting untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa kini dan masa depan.

Bagaimana menjaga kemurnian gerakan Anda?
Dengan selalu mendekatkan diri pada kelompok yang paling otentik, yang bagi Kontras adalah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Mereka selalu memancarkan energi untuk selalu menjaga cita-cita, perjuangan, dan tindakan. Saya yakin, semua yang berkemauan baik akan bertemu pada muara yang sama, kebaikan dan kedamaian.

KOMPAS, Sabtu, 21 November 2009

Usman Hamid – Koordinator KONTRAS

Tidak ada komentar: