Senin, 08 November 2010

MENGALIR MENUJU MUARA YANG SAMA

Mengalir Menuju Muara yang Sama

”Mengapa semakin banyak petani yang kehilangan lahan?” Itulah kegelisahan pertama Usman Hamid saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, di saat-saat akhir pemerintahan Orde Baru. ”Itulah realitas politik,” jawab dosennya saat itu.

Kegelisahan terhadap realitas politik ini kian memuncak dalam diri Usman saat anak band yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini melihat empat temannya tewas, tertembak dalam peristiwa Trisakti pada 12 Mei 1998.

”Saat penembakan itu terjadi, saya menjadi calon Ketua Senat Fakultas Hukum. Saya merasa berdosa kepada teman-teman yang menjadi korban dan bertanya, mengapa peristiwa itu sampai terjadi?” kenangnya.
Refleksi terhadap peristiwa yang menjadi salah satu momentum jatuhnya Orde Baru itu membawa Usman ke petualangan baru yang akhirnya membentuk hidupnya sampai kini. Diawali dengan menjadi anggota Tim Investigasi yang dibentuk Universitas Trisakti (Usakti) untuk mengusut kasus 12 Mei 1998. Aktivitasnya terus bergerak menjadi Sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II yang dibentuk Komisi Nasional HAM, hingga meneruskan almarhum Munir menjadi nakhoda Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Peristiwa Trisakti juga membawa Usman bertemu dengan Munir yang saat itu menjadi Koordinator Badan Pekerja Kontras. Ketika Munir meninggal akibat dibunuh dalam penerbangan ke Belanda pada 7 September 2004, sejumlah pihak sempat menanyakan kelanjutan Kontras dan juga Usman. ”Sampai sekarang kami ternyata tetap eksis,” katanya kepada Kompas, Rabu (18/11) di Jakarta.

Apa yang membuat Anda dan Kontras tetap bertahan?
Ada cita-cita dan keputusan yang sama untuk bertindak di antara kami, yaitu ingin berperan serta membangun masyarakat yang lebih berpihak pada pemenuhan HAM. Ini berarti terciptanya masyarakat yang lebih kuat dan percaya pada martabatnya, serta adanya kebijakan bahwa kesempatan harus diprioritaskan kepada masyarakat yang paling dilemahkan.

Apakah isu gerakan masyarakat sipil, khususnya di bidang HAM, masih menarik?
Masih. Sebab masih banyak persoalan yang mengancam HAM, khususnya martabat kita sebagai manusia. Misalnya, makin kuatnya usaha untuk menunggalkan identitas dan menganggap yang berbeda identitas adalah ”makhluk” lain. Ini seperti pandangan sebagian orang Serbia yang menganggap orang Muslim bukan manusia. Ini pandangan yang berbahaya karena faktanya kita hidup di dunia yang beragam sehingga pluralisme adalah salah satu nilai kemanusiaan yang harus diterima.

Meski kekerasan oleh negara sudah berkurang, kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat justru kian sering terjadi. Ini karena sumber kekerasan ada tiga, yaitu politik, relasi ekonomi, dan struktur sosial masyarakat.

Seberapa kuat aktivitas masyarakat sipil mampu menjawab tantangan ini?
Gerakan masyarakat sipil memiliki tiga latar belakang. Pertama, diilhami upaya pembebasan dari kekuasaan militer seperti yang terjadi di Eropa Timur. Kedua, menciptakan struktur ekonomi yang lebih adil seperti yang diperjuangkan di Amerika Latin, dan ketiga, membangun persamaan jender atau struktur sosial seperti yang banyak diperjuangkan di Timur Tengah. Tiga gerakan itu sekarang ada di Indonesia. Di awal reformasi, gerakan di bidang keterbukaan politik lebih menonjol. Saat ini gerakan di bidang perbaikan relasi ekonomi dan struktur sosial perlu lebih diintensifkan sebab kekerasan masyarakat, antara lain, diakibatkan lemahnya kekuasaan pemerintah karena tergerus modal dan timpangnya struktur sosial ekonomi masyarakat. Ini membuat Kontras sekarang juga aktif dalam kegiatan seperti pembelaan terhadap korban penggusuran dan kekerasan struktural yang berbasis ekonomi.

Bagaimana manfaat gerakan masyarakat sipil di Indonesia?
Cukup efektif. Sekarang muncul kesadaran di masyarakat untuk jangan mudah diadu domba atau diprovokasi. Kerusuhan seperti yang pernah terjadi di Poso atau Maluku, sekarang lebih sulit untuk disulut.
Bagaimana tentang pendapat gerakan masyarakat sipil mulai kehilangan makna, karena isunya banyak digarap lembaga lain, seperti partai politik?

Justru pada saat ini gerakan masyarakat sipil makin dibutuhkan untuk berperan sebagai pemberi suara kritis kepada kekuasaan sebab parpol cenderung menjadi satu suara dan ada keengganan untuk menjadi oposisi. Padahal, demokrasi selalu mensyaratkan adanya oposisi agar tercipta saling kontrol dan keseimbangan.
Politik tak asing

Politik bukan barang baru bagi Usman. Bapaknya, almarhum Abdul Hamid, adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan aktivis Partai Persatuan Pembangunan. Ibunya, almarhumah Halimatus Sa’adiyah, adalah fungsionaris Partai Golkar.

”Ibu saya penggiat majelis taklim di Jakarta. Beliau punya buku besar berisi daftar anggotanya, lengkap dengan fotokopi KTP dan foto.

Dahulu di masa Orde Baru, jika ada kegiatan Golkar, ibu saya dapat dengan mudah mendatangkan banyak sekali anggotanya. Ini yang membuat beliau sering dipanggil Panglima Kodam untuk sekadar kopi pagi,” kata Usman.

Namun, menjelang akhir Orde Baru, lanjut Usman, ibunya memutuskan keluar dari politik.
Sepak terjang Usman membuat sejumlah partai menawarinya menjadi calon anggota legislatif (caleg). ”Ketika Pemilu 2009, ada tiga partai besar yang menawari saya. Saya berpendapat, untuk berjuang bagi Indonesia tidak perlu harus menjadi anggota DPR. Saya juga sudah merasa nyaman dan bersyukur karena yang saya lakukan selama ini menenteramkan batin,” katanya lagi.

Selain kurang menjanjikan secara finansial, yang Anda lakukan selama ini juga mengandung banyak risiko, seperti dialami almarhum Munir….

Teror memang sering ada, tak hanya saya, namun juga (almarhumah) ibu, mulai dari melalui pesan singkat, telepon misterius, sampai ditawari uang dan kamar hotel. Kantor Kontras juga pernah diserang dan dirusak sekelompok orang pada 13 Maret 2002. Teror ini biasanya muncul saat kami mulai atau berhasil membongkar suatu kasus.

Saya bukannya tak memiliki rasa takut dalam menghadapi teror itu. Namun, seperti yang disampaikan Munir, kita harus lebih takut pada ketakutan itu sendiri sebab rasa takut akan menghilangkan rasionalitas dan akal sehat kita.

Kasus pembunuhan Munir belum terungkap. Kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya juga belum selesai. Bagaimana Anda melihatnya?
Masa lalu masih menjadi masa kini ketika, misalnya, seorang ibu masih mempertanyakan dan mengunjungi kubur anaknya yang menjadi korban pelanggaran HAM. Karena itu, kasus masa lalu itu tetap harus diungkap. Meski sampai sekarang hasil perjuangan ini belum maksimal, dengan berbagai usaha dan aksi kami, setidaknya masyarakat selalu diingatkan di masa lalu pernah ada persoalan, seperti kerusuhan, penembakan, dan penculikan aktivis. Ingatan itu adalah modal penting untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa kini dan masa depan.

Bagaimana menjaga kemurnian gerakan Anda?
Dengan selalu mendekatkan diri pada kelompok yang paling otentik, yang bagi Kontras adalah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Mereka selalu memancarkan energi untuk selalu menjaga cita-cita, perjuangan, dan tindakan. Saya yakin, semua yang berkemauan baik akan bertemu pada muara yang sama, kebaikan dan kedamaian.

KOMPAS, Sabtu, 21 November 2009

Usman Hamid – Koordinator KONTRAS

MENGELOLA KEBERAGAMAN INDONESIA

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #14
Zuly Qodir – Dosen, Pegiat dialog antaragama

Zuly Qodir 

Latar belakang pendidikan Islam tidak membelenggu pemikiran Zuly Qodir untuk memperjuangkan penghormatan keberagaman di Indonesia. Tenaga dan pemikirannya dicurahkan untuk meneliti penyebab konflik atau gesekan antaretnis yang kerap terjadi di negara ini. Aktivis muda Muhammadiyah itu pun terlibat dalam pembentukan Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta, sebuah forum lintas agama yang didirikan bulan Maret 1997.

Baginya, keberagaman etnis atau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan potensi luar biasa yang menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia. Keberagaman itu pulalah yang menjadi cikal bakal lahirnya Republik Indonesia.

Konflik terjadi bukan karena perbedaan SARA, melainkan lantaran kurangnya penghormatan negara. Negaralah yang justru menciptakan kesenjangan antaretnis dengan memprioritaskan etnis tertentu dalam segala bidang pembangunan.

Berikut petikan wawancara Kompas di rumahnya di Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (7/11).

Bagaimana gesekan antaretnis itu bisa terjadi?
Negara kita ini memiliki suku yang beragam, budaya beragam, tetapi selama bertahun-tahun tak mengalami perkembangan yang baik. Suku-suku, etnis, yang disebut SARA itu hanya dipakai untuk konsumsi politik rezim kekuasaan, terutama pada zaman Orde Baru. SARA hanya diterjemahkan menurut rezim kekuasaan.
Rezim Orde Baru merepresentasikan keberagaman dengan membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang sebenarnya tidak berkembang sama sekali. Tidak ada cermin keragaman budaya di situ, hanya artefak semata.

Kekayaan dari keberagaman SARA itu bahkan dibelenggu oleh negara sehingga yang muncul adalah pendaman-pendaman kekecewaan. Akibatnya, beberapa daerah ingin merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Lihat saja di Papua, Aceh, dan Riau, ada gerakan untuk merdeka. Itu bukti mereka kecewa terhadap penghormatan SARA di Indonesia. Penguasa tidak menghormati keberagaman itu dengan baik.

Mengapa negara tidak menghormati keberagaman?
Rezim penguasa selalu ketakutan dengan SARA, merasa bila keberagaman tiap-tiap daerah muncul akan membuat negara tidak dominan sehingga negara memilih untuk menyeragamkan semuanya.
Sepanjang Orde Baru negara telah melakukan teror terhadap mereka yang menentang keseragaman. Mereka yang dianggap menentang dan mengancam persatuan dipenjara atau dihilangkan mata pencariannya dan dijauhkan dari komunitasnya.

Sikap seperti itulah yang kemudian memunculkan antipati terhadap negara. Pada saat kondisi negara lemah, keberagaman yang sebelumnya menjadi potensi untuk mempersatukan bangsa berubah menjadi potensi negatif. Pendaman-pendaman kekecewaan terhadap negara itulah yang mengakibatkan konflik terjadi di mana-mana.

Apa akar permasalahan yang menyebabkan konflik?
Akar persoalannya adalah diskriminasi. Ada kesenjangan keadilan, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sebagainya.

Saya sudah berkeliling melihat daerah-daerah, kondisi infrastruktur memang jauh tertinggal dibanding Jawa. Di Papua itu jalanan belum dibangun dengan baik. Infrastruktur di daerah konflik, seperti Ambon dan Ternate, juga belum begitu baik.

Pembangunan bidang pendidikan juga masih ada kesenjangan. Fasilitas pendidikan di Jawa dengan di daerah-daerah terpencil serta pulau-pulau lain sangat berbeda. Tetapi, mengapa masalah kelulusan diseragamkan dengan menggunakan ujian nasional. Itu jelas-jelas tidak adil.

Apa yang harus dilakukan untuk meredam potensi konflik?
Etnis dan agama ini memang paling mudah untuk membangkitkan sentimen identitas. Agama berkaitan dengan keimanan, sedangkan etnis berkaitan dengan identitas kesukuan dalam masyarakat.

Orang akan sangat mudah marah bila disentil masalah keagamaan atau etnis. Kesenjangan atau diskriminasi semacam itu harus segera dihentikan. Masyarakat dari etnis apa pun, termasuk China, harus diberikan kesempatan yang sama dalam bidang politik, perekonomian, dan sebagainya.
Prinsipnya, keadilan harus benar-benar terjadi, baik keadilan politik, keadilan hukum, keadilan politik, dan juga pemerataan pembangunan.

Di bidang hukum, selama ini penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, masih tebang pilih. Ada kesenjangan antargolongan dalam penegakan hukum di Indonesia. Seharusnya hukum itu berlaku sama bagi siapa pun.

Kemudian soal agama dan kepercayaan. Negara tidak perlu terlalu banyak intervensi terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan. Biarlah urusan keagamaan itu diserahkan kepada tiap-tiap organisasi keagamaan. Kalau Islam, ya, serahkan saja kepada Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Nahdlatul Wathon, dan sebagainya. Kalau Kristen, ya, diserahkan kepada yang mumpuni, begitu pula Katolik diserahkan saja kepada lembaga-lembaga Katolik.

Negara harus memisahkan urusan pemerintahan dengan urusan agama. Sesat atau tidak sesat, itu bukan urusan negara. Tugas negara itu mengurus masalah pendidikan, kesejahteraan rakyat, dan penegakan hukum.

Lalu, bagaimana mengemas keberagaman agar tidak menjadi sumber konflik?
Keberagaman SARA harus dikelola sebagai kekayaan yang kondusif, dengan pemahaman inilah Indonesia yang sangat unik. Baik negara maupun masyarakat sendiri harus memahami serta menghormati perbedaan. Negara harus kembali pada filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Negara harus menghormati perbedaan suku, agama, ras, adat, bahasa, dan perbedaan lainnya. Yang menyatukan adalah bahasa nasional, bendera, lagu kebangsaan, dan sebagainya.

Pemerintah jangan menyeragamkan sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan atau potensi lokal. Seperti menyamaratakan makanan pokok tiap-tiap daerah. Orang Ambon biasa makan sagu, ya biarlah seperti itu.
Kemudian soal kebudayaan yang berkembang, jangan sampai ada klaim budaya yang beradab dan tidak beradab. Misalnya, ada orang Dayak, orang Samin, dan Baduy yang dianggap tak beradab. Pertanyaannya kemudian, siapa yang dianggap beradab? Ternyata yang dianggap beradab adalah mereka yang dekat dengan rezim kekuasaan.

Tidak sepantasanya suku adat tertentu dianggap tidak beradab karena tidak mengikuti pola pikir pemerintah. Mereka bukan tidak beradab, tetapi punya sistem nilai sendiri. Perbedaan sistem nilai itu harus dihormati agar tidak memicu konflik.

Soal agama, pemerintah tidak perlu membuat dikotomi, agama resmi ataupun agama tidak resmi. Dikotomi itu akan menimbulkan gesekan di masyarakat.

Bagaimana tidak, sempalan atau aliran dalam internal agama saja dianggap sesat. Orang berbeda pandangan dianggap sesat, orang berbeda pemikiran dianggap sesat.
S
elama ini negara tidak pernah tegas. Salah satu contohnya pada saat kelompok Ahmadiyah mengalami kekerasan karena dianggap sesat, pemerintah malah membiarkan. Kalau negara tidak bisa menghentikan sentimen yang terjadi akibat adanya perbedaan, keberagaman suku, agama, dan ras sebagai komponen pembangunan tidak akan ada lagi. Negara cukup menjamin seluruh warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut.

Oleh : Anita Yossihara / KOMPAS, Kamis, 12 November 2009

MIMPI NEGERI TANPA KORUPSI

Fadjroel Rahman – Pegiat antikorupsi, calon Presiden independen 2009


Pada 28 Oktober lalu, tepat 81 tahun Sumpah Pemuda, tokoh mahasiswa Institut Teknologi Bandung, 1978, M Fadjroel Rachman, yang pernah mendekam di LP Sukamiskin, Jawa Barat, oleh rezim Orde Baru, mendeklarasikan diri kembali menjadi calon presiden independen tahun 2014. SUHARTON

Ini merupakan deklarasi kedua Fadjroel sebagai calon presiden (capres) setelah deklarasi pertama Februari 2009. Waktu itu pencalonannya kandas setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materinya terhadap capres perseorangan atau independen.

Kini, didukung gerakan nasional independen, Fadjroel maju kembali sebagai capres. Ia mengaku tak ingin mencari keuntungan sendiri menjadi capres RI, tetapi ingin mengembalikan hak konstitusional warga lainnya bisa maju sebagai capres.

Bahkan, Fadjroel yang juga aktif ikut gerakan antikorupsi memiliki harapan, yaitu jika calon independen bisa memenangkan uji materi, tidak hanya kelompok demokrasi yang bisa masuk ”merebut negara”, tetapi juga berkiprah mengawal pemberantasan korupsi dan melawan mafia hukum secara semesta.

Optimismenya maju kembali dan ”menembus” MK berawal keberhasilannya ketika ia dan kawan-kawannya ”memenangkan” uji material di MK, 23 Juli 2007, yaitu calon independen untuk pemilu kepala daerah.
Untuk memuluskan pencalonannya, Fadjroel tidak hanya mengurus uji materi ke MK, tetapi juga merevisi UU Partai Politik agar parpol bisa melaksanakan konvensi penentuan calon dan juga melakukan amandemen UUD 1945.

Menurut Fadjroel, ”kemenangan demokrasi” itu tinggal selangkah lagi. Bagaimana pemikirannya, seperti apa mimpinya atas sebuah negeri tanpa korupsi serta upaya ”perlawanan” mengenai antidemokrasi. Terkait itu, Kompas mewawancarainya, beberapa waktu lalu. Inilah sebagian wawancaranya.

Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III menimbulkan ”keributan”. Bagaimana Anda melihat dan memetik pembelajaran pertemuan itu bagi demokrasi?

Proses demokrasi yang terpenting, menurut saya, adalah dialog, ada kesetaraan yang argumentatif dan rasional. Apa pun masalahnya bisa dibicarakan dalam pemahaman itu. Kita menghindari monolog selama 32 tahun hidup di era Orde Baru.

Kami datang dengan satu pikiran, Komisi III bisa menjelaskan mengapa mereka bisa membuat kesimpulan bersama kejaksaan yang mendesak Kejaksaan RI menangani perkara dua pimpinan KPK yang nonaktif. Sementara Tim Delapan, yang dibentuk Presiden, membuat rekomendasi yang fakta dan proses hukum yang dimiliki Polri tidak cukup bagi dilanjutkannya proses hukum pimpinan KPK.

Pertanyaannya, Komisi III menentang rekomendasi Tim Delapan. Kami sebenarnya memohon satu dialog yang komunikatif sehingga ada alasan rasional dan obyektif.

Maksudnya?
Tampaknya mereka masih merasa sebagai pejabat negara dan bukan seorang politisi publik yang bertanggung jawab. Ketika kami berkali-kali menanyakan itu, jawabannya mengambang dan seolah-olah kedatangan kami mengorbankan waktu.

Puncaknya, saat guru besar UI Tamrin Tomagola menjadi kesal. Mengapa pertanyaan yang jelas justru tidak dijawab dengan rasional obyektif, tetapi malah berputar-putar dan suara yang agak keras. Kesimpulan saya, mereka tidak siap berdialog. Padahal, bangunan demokrasi itu jantungnya dialog rasional dan obyektif.

Kira-kira apa yang menjadi penyebab? Apakah terjadi kesenjangan kaum intelektual dan kaum politisi?
Menurut saya, partai politik memang seharusnya menyeleksi lebih dulu terhadap anggota-anggota yang bertarung di pemilu. Akan tetapi, ternyata parpol tidak memilih calon terbaik, tetapi diserahkan pada seleksi masyarakat sehingga hasilnya seperti ini. Padahal, rakyat tidak punya pendidikan demokrasi yang kuat saat memilih.

Mengapa bisa begitu?
Saya kira karena pendidikan politik di Indonesia atau demokrasi, seperti pernah saya katakan, baru ”satu derajat di atas nol”. Artinya, seolah-olah demokrasi itu eksis setelah kita bebas dari cengkeraman Orde Baru, yakni dengan mendirikan partai politik dan menggelar pemilu. Akan tetapi, tidak ada ajaran yang kuat terhadap hak-hak mereka, yaitu hak sipil, bagaimana orang mengenali bahwa kalau menyuarakan pikiran itu adalah sebuah kebebasan dan apa yang disuarakan itu kepentingan dasar.

Jadi, demokrasi yang diperjuangkan hanya yang prosedural. Tetapi, inti dari demokrasi, yaitu orang membela hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya itu, tidak terjadi. Akibatnya, mereka memilih orang dan bukan orang atau wakil rakyat yang mau membela kelima hak dasar itu saja.

Dalam reformasi 11 tahun ini, pendidikan demokrasi atau pendidikan hak dasar itu relatif baru. Sementara demokrasi kita dibajak para individu yang antidemokrasi. Mereka orang-orang yang bercokol selama rezim totaliter Orde Baru. Inilah yang ”memenjarakan” para fraksi di DPR. Padahal, seharusnya aktor-aktor demokrasi itu yang harus mengisi lima arena, yakni arena politik, ekonomi, masyarakat bisnis, civil society, birokrasi, dan arena hukum. Demokrasi hanya bisa berjalan jika lima wilayah diisi oleh aktor-aktor demokrasi.
Mengapa kita tidak menjalankan demokrasi substansial?
Ibarat sekolah, kita masih kelas satu. Padahal, kemarin ketika reformasi kita punya kesempatan dan momentum emas untuk menjalankan hak dasar. Momentum waktu itu adalah saat reformasi mendorong hak-hak dasar saat mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, waktunya dibatasi untuk kasus setelah 1999. Demikian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang tidak jadi diteruskan pembentukannya serta restrukturisasi utang luar negeri yang harus dijalankan. Akibatnya, momentum itu hilang dan korupsi masih tidak bisa dihilangkan hingga saat ini.

Jadi, korupsi tidak mungkin pupus?
Ada hari di mana kita bermimpi bahwa korupsi itu hanya ada di museum nasional dan di sana terdiri dari diorama-diorama. Kita juga bermimpi Indonesia yang bebas kemiskinan sehingga anak cucu kita bisa dibawa melihat diorama kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, buruh, dan lainnya.

Kalau anak cucu kita bertanya, bagaimana korupsi itu, mimpi saya itu, mari kita bawa ke museum nasional. Misalnya, museum tentang BLBI, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Di situ digambarkan orang-orangnya, lalu ada diorama bagaimana mereka korupsi. Bisa saja, ada diorama korupsi di PT Masaro Radiokom, diorama gratifikasi Bank Indonesia, dan diorama lainnya yang menjadi masa lalu bangsa kita.

Tidak bisa momentum baru untuk mengembalikan semuanya kembali?
Saya berpikir bahwa momentum itu baru terjadi pada tahun 2014, yaitu ketika terjadi regenerasi nasional, ketika semua lembaga politik dan lima arena akan diisi generasi baru, generasi non-Orde Baru dan non-Soeharto. Saya yakin bisa, berdasarkan adanya pergeseran regenerasi politik dari sekarang ini.

Selasa, 24 November 2009

OPTIMISME UNTUK INDONESIA LEBIH BAIK

Optimisme untuk Indonesia yang Lebih Baik

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #15
Budiman Sudjatmiko – Anggota DPR-RI 2009-2014, Pendiri PRD

Budiman Sudjatmiko 

Huru-hara pengambilalihan secara paksa Kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta, pada 27 Juli 1996, menyeret Budiman Sudjatmiko ke penjara. Sebagai Ketua Partai Rakyat Demokratik, yang didirikan tahun 1996, ia dianggap menggalang solidaritas untuk Megawati Soekarnoputri. Penggemar musik klasik dan lagu-lagu daerah Indonesia itu divonis 13 tahun penjara pada 1997 oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1999, Budiman keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan amnesti umum kepada para tahanan politik.

Jatuhnya Gus Dur dari kursi presiden tahun 2001 menyadarkan Budiman bahwa perjuangan tak bisa dilakukan dengan cara ekstraparlementer. Sistem sebagai hasil reformasi ternyata belum sepenuhnya berpihak pada demokrasi. Ia menyadari, institusi parlemen— sebagai proses demokrasi dan reformasi—harus dijaga.
Berikut petikan perbincangan Kompas dengan peraih suara terbanyak Pemilu Legislatif 2009 untuk Daerah Pemilihan Jawa Tengah VIII.

Mengapa tahun 2004 memutuskan bergabung dengan PDI-P?
Meskipun ada kritik terhadap pemerintahan Ibu Mega, kami melihat kecenderungan lain yang muncul dalam sistem reformasi. Parpol sebagai institusi fundamental bagi tegaknya demokrasi pada tahun 2004 mengalami proses delegitimasi. Muncul politik yang menonjolkan ketokohan individu. Satu-satunya yang mungkin dilakukan adalah penguatan parpol.

Munculnya figur Susilo Bambang Yudhoyono karena proses individualisasi parpol. Bagi saya, itu tidak salah. Tapi, jika tidak diimbangi dengan institusi kepartaian, saya khawatir masyarakat Indonesia nanti di dalam berpolitiknya tidak terorganisasi dengan baik. Masyarakat dalam berpolitik akan melakukan transaksi politik berdasarkan kebutuhan individu.

Apa yang bisa Anda lakukan?
Saat menjadi calon anggota legislatif dari PDI-P dalam Pemilu 2009, kesempatan paling baik bagi saya memberikan contoh bahwa politik adalah pelayanan publik. Berpolitik dengan program, visi, nilai, kebijakan, bisa memenangkan pertarungan politik demokratis.

Saya tidak menjanjikan uang, hanya menjanjikan kebijakan. Saya datang membawa draf UU tentang Desa yang disusun teman-teman dari Yogya. Dalam kampanye, saya jelaskan pasal per pasal, misalnya desa memiliki hak untuk membangun badan usaha milik desa. Kaum muda di desa tidak harus ke kota kalau ada badan usaha unit desa.

Saya juga membuat rumah aspirasi. Setelah dilantik, saya ke Purwokerto naik mobil. Sampai di sana meresmikan rumah aspirasi dengan timnya. Ada pengacara, konsultan. Ini penting untuk menjaga kepercayaan. Saya dimenangkan oleh mereka tanpa politik uang.

Sebelum pemilu selesai, saya bicara dengan tim saya. Kalau saya gagal ke DPR dengan cara seperti ini, mungkin kita harus berpikir ulang tentang Indonesia yang lebih baik. Yang kita pikir bisa 5-10 tahun, bisa 25-30 tahun lagi. Tapi, jika kita bisa menang dengan cara seperti ini, kita punya optimisme bahwa Indonesia yang lebih baik bisa cepat kita hadirkan.

Indonesia yang lebih baik, apa itu?
Indonesia yang rakyatnya, terutama generasi mudanya, punya need for achievement, kebutuhan mencapai sesuatu untuk berprestasi. Indonesia yang terutama kaum mudanya—entah yang berpendidikan tinggi atau rendah—punya kebutuhan untuk berprestasi, bekerja keras. Mereka juga boleh bersenang, bersukacita. Bagi saya, generasi muda yang bisa bersukacita dengan sepenuh hati dan bekerja dengan cerdas adalah bangsa yang punya masa depan.

Indonesia yang lebih baik juga menyediakan ruang untuk leisure, bersantai yang sehat. Memikirkan area hijau di setiap kota, setidaknya 30 persen, sehingga masyarakat memperoleh udara yang baik.
Indonesia yang lebih baik adalah Indonesia yang tak harus lagi khawatir didiskriminasikan karena agama atau etnisnya.

PDI-P menempatkan diri di luar pemerintahan. Apakah tidak sulit melakukan perubahan?
Saya kira yang menarik dari politik karena kemudahan tidak datang begitu saja. Kemudahan diperoleh karena kita sudah melewati proses. Kemarin, untuk pertama kalinya, saya ikut rapat Badan Musyawarah DPR. Bamus itu semacam paripurna kecil, berpolitik di DPR sebenarnya di Bamus ini karena ada lintas fraksi. Menentukan prioritas undang-undang mana yang akan digolkan, UU dibahas komisi berapa. Saya simpulkan, I hope I can make it.

Ketika saya masuk DPR, ada proses demokrasi yang saya lewati dengan etika yang coba terus saya jaga. Bukan cuma proses tapi substansi, output-nya mesti baik juga bagi demokrasi.

Sebelas tahun reformasi. Apakah ada bayangan, pascareformasi 1998 akan seperti apa?
Saat mulai perjuangan reformasi, kami punya dua bayangan, baik dan buruk. Bayangan baik tentang bangsa sudah terjadi, contohnya pemilu diselenggarakan lembaga independen, proses penegakan HAM. Bayangan buruk juga sudah ada, misalnya semakin hilangnya kedaulatan ekonomi karena proses demokrasi datang bersamaan dengan proses globalisasi neoliberal atau globalisasi kapital.

Intensitas liberalisasi begitu cepat masuk ke dalam bidang politik sehingga menghasilkan proses pragmatisme. Bagi saya, kekeliruannya karena kita sendiri yang ingin mempertahankan nilai-nilai bangsa, tapi tidak tahu cara bermain dalam era baru. Menurut saya, menghadapi globalisasi dan liberalisasi harus diubah cara komunikasinya, mengelola kekuatan dengan cara modern yang disediakan perkembangan teknologi.

Siapa yang harus memulai?
Kalangan parpol. Mereka berakar di bawah dan mereka ada kesempatan untuk mengartikulasikan gagasannya dalam forum demokratis modern yang namanya DPR. Parpol memegang leading role, peranan untuk melahirkan kader.

Bicara soal kader, tahun 2014 nanti saatnya bagi orang-orang muda untuk tampil. Siapkah?
Regenerasi adalah keharusan karena itu adalah kehendak alam. Yang saya khawatirkan bukan regenerasi, tapi proses kaderisasi untuk melahirkan generasi kepemimpinan baru. Tentu saja penyiapan adalah dari segi fisik, kemampuan, keterampilan, etik, integritas. Bukan favoritisme, penganakemasan.

Penyiapan generasi muda dengan memberi mereka karpet merah akan menciptakan anak muda yang apolitis, pragmatis, meskipun seolah-olah berpolitik. Saya tidak percaya dengan kaum muda yang dibesarkan realitas lampu sorot, realitas media seluas layar komputer, seluas layar Blackberry, halaman koran.

Tahun 2004, hanya Yudhoyono yang sadar bahwa pencitraan politik penting. Tahun 2009 semua orang sadar. Apa yang terjadi? Pasangan Yudhoyono-Boediono menang karena pendekatan image building oriented. Bubble politics. Dengan bubble itu banyak prestasi yang biasa dilebihkan, kekurangan dibikin minim.
Apakah tahun 2014 kita akan memberikan politik gelembung itu memenangkan politik substansi dan kinerja? Yang ideal adalah bagaimana ada pemimpin yang secara ideologi kuat, secara kinerja responsif, tapi secara pencitraan juga bagus. Kita harapkan pada tahun 2014 ada anak-anak muda generasi baru yang bisa menyatukan tiga ini.

Oleh : Dewi Indriastuti  / KOMPAS, Jumat, 13 November 2009

INDONESIA PERLU PEMIMPIN AUTENTIK

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #16
 
Yuddy Chrisnandi – Calon Ketua Umum Golkar

Politisi muda yang banyak mewarnai dinamika politik lima tahun belakangan ini salah satunya adalah Yuddy Chrisnandi. Menjadi presiden adalah cita-citanya. Memerangi 5K adalah visinya.Sebagai anggota Komisi I DPR, dia banyak mengkritik kebijakan pertahanan dan luar negeri. Dia juga pernah memotori hak interpelasi terhadap kebijakan pemerintah yang mendukung Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1747 tentang Perluasan Sanksi pada Iran. Interpelasi ini mendapat dukungan sangat besar.

Yuddy juga satu-satunya anggota Fraksi Partai Golkar yang mendukung hak angket kenaikan harga bahan bakar minyak. Karena sikapnya itu, dia bahkan sempat dikenai sanksi.

Pada Pemilu Presiden 2009, dia ikut mencalonkan diri. Karena Golkar tidak mengadakan konvensi capres, dia pun mengikuti Konvensi Capres Dewan Integritas Bangsa. Dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar, Oktober 2009, dia termasuk salah satu dari empat calon Ketua Umum Partai Golkar, tetapi gagal. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Yuddy saat ditemui di kediamannya di Tebet Barat, Jakarta, baru-baru ini.

Bagaimana Anda memandang Indonesia kini dan mendatang?
Indonesia harus memegang teguh cita-cita kemerdekaannya, yaitu membentuk pemerintahan berdaulat yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, dan turut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial.

Cita-cita itu masih jauh dari harapan. Nelayan kecil saat menangkap ikan masih dikalahkan kapal besar asing ilegal. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri juga belum seluruhnya dilindungi. Berapa banyak warga negara yang punya rumah? Berapa banyak yang terlayani kesehatan? Berapa banyak yang minum air bersih dibanding minum air penuh bakteri dan penyakit?

Persoalan mendasar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah 5K, yaitu kemiskinan, kebodohan, keadilan, korupsi, dan kemandirian.

Konflik institusi penegak hukum antara kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang sekarang ini terjadi menunjukkan kemunduran dari proses penegakan keadilan.

Sampai akhir tahun 2008, Transparency International meperkirakan tingkat kebocoran APBN masih sekitar 30 persen. Berarti dari Rp 1.037 triliun anggaran tahun fiskal 2009, ada sekitar Rp 310 triliun yang dikorup. Padahal, anggaran pertahanan kita saja hanya sekitar Rp 37 triliun, anggaran kesehatan hanya Rp 27 triliun.
Kasus Century yang menyedot uang negara Rp 6,7 triliun juga jelas merupakan skandal terbesar di era Reformasi. Bank kecil diberi fasilitas bailout (talangan) Rp 6,7 triliun tanpa melalui testimoni di DPR. Kasus ini jelas merupakan kejahatan pemerintah dan pengingkaran terhadap otoritas rakyat. Lebih parah lagi, pemerintah pun tidak menunjukkan itikad untuk mengusut tuntas, bahkan terkesan menutupi.

Kemiskinan dan kebodohan pun jalan di tempat. Angka kemiskinan belum bergerak jauh dari 1998. Sensus tahun 2005 juga menunjukkan bahwa penduduk di perguruan tinggi hanya 5,1 persen, berarti sekitar 12 juta dari 230 juta.

Apalagi bicara soal ketergantungan asing, nothing change, tidak berubah. Justru sekarang terkesan semakin dekat dengan kepentingan asing, bukan menjauh. Perusahaan asing yang bergerak di bidang energi, minyak, gas, tambang, lebih kurang mencapai 80 persen. Bagaimana kita bisa mengetahui kemampuan eksplorasi kita ketika dominasi asing begitu kuat.

Oleh karena itu, agenda saya memerangi 5K. Bukan hanya mengurangi kemiskinan, mengurangi kebodohan, atau memberantas korupsi. Kita harus mengambil kata kerja yang terefleksikan dalam tindakan. Seluruh instrumen negara harus digerakkan untuk memerangi.

Indonesia juga harus siap menghadapi lima tantangan global. Pertama, kesenjangan sosial yang semakin melebar karena akan ada 1,2 miliar penduduk dari 3,2 miliar penduduk di dunia ini akan tersingkir. Kedua, terjadinya perubahan iklim dan krisis pangan dan energi yang akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan konflik di berbagai belahan dunia. Ketiga, terjadinya dekadensi moral yang merusak tata nilai. Keempat, menghadapi tekanan kompetisi ahli yang membuat ketergantungan. Kelima, keluar dari jerat utang dan krisis moneter.

Utang Indonesia yang mencapai Rp 1.668 triliun itu sama sekali tidak bisa dianggap enteng karena hampir 1,5 persen APBN. Sama seperti utang seseorang yang mencapai Rp 7,5 juta, padahal pendapatannya satu bulan Rp 5 juta. Kalau seluruh pendapatannya pun hendak dibayarkan tidak akan cukup karena masih utang Rp 2,5 juta dan ekonomi rumah tangga tidak bisa bergerak.

Pemimpin masa depan Indonesia harus mampu membaca apa yang akan terjadi di masa depan. Indonesia masa depan harus menjadi bangsa yang survive dan dihormati di tengah peradaban dunia, yaitu kuat secara ekonomi dan pertahanan.

Apa yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan itu?
Indonesia sesungguhnya memiliki modal utama, yaitu letak geografis, sumber daya alam, dan keragaman budaya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan Indonesia hanya pengelolaan yang baik. Karena itu, Indonesiaharus memiliki pemimpin yang autentik, pemimpin yang dibutuhkan zaman. Untuk menjadi pemimpin autentik, selain harus pintar dan berintegritas, harus juga memiliki trinitas, yaitu religiusitas, nasionalisme, dan sosialisme.

Religiusitas penting agar sebagai pemimpin tertinggi mempunyai rasa takut untuk mempertanggungjawabkan semuanya pada Tuhan, yang direfleksikan dengan menjalankan konstitusi dan aturan secara benar. Seorang pemimpin yang sudah mengakali konstitusi, dia pasti bukan pemimpin religius.

Pemimpin yang nasionalis menjadi representasi keragaman bangsanya. Kalau saya jadi presiden, bukan presiden untuk orang Sunda, tetapi untuk bangsa Indonesia yang terbentang dari Aceh sampai Papua. Dia juga tidak hanya memakmurkan satu kelompok agamanya atau budayanya saja.

Pemimpin sosialis, yaitu cinta pada rakyat. Dia sadar betul lahir dari rahim rakyat dan sumber inspirasi kewenangan yang dimiliki. Kovenan dari filosof besar Jean Jacques Rousseau bahwa rakyat itu telah menitipkan sebagian dari jiwa raganya pada pemimpin untuk melindungi dan mewujudkan cita-citanya. Dengan merasakan mandat itu, pemimpin bisa bermetamorfosa menjadi pemimpin yang disebut filosof Thomas Hobbes sebagai Leviathan, raksasa yang baik. Dia sadar, besar karena rakyat dan harus melindungi rakyat, bukan melindungi kroni, partai, atau keluarga.

Apa yang akan Anda lakukan?
Cita cita perjuangan tidak boleh berhenti karena akan membuat kita mati dan tidak punya harapan. Tugas pemimpin juga memberikan pencerahan kepada orang di sekitar sehingga mau bahu-membahu melangkah menuju kemajuan.

Kemarin, saat mengikuti Konvensi Capres Dewan Integritas Bangsa, saya hanya sempat sosialisasi di kaum cendekiawan, belum sampai ke akar rumput karena waktu yang terlampau pendek. Hegemoni elite dan oligarki di partai politik sebagai institusi utama yang mengusung calon pemimpin formal juga sangat kuat. Tidak semua pemimpin parpol punya pandangan visioner yang menempatkan kepentingan bangsa di atas pragmatisme kekuasaan sehingga yang terjadi hanya berbagi kekuasaan dengan orang-orang yang bisa diaturnya dan menutup figur-figur alternatif.

Lima tahun ke depan tidak bisa dihindari harus ada alih generasi karena orang yang berkompetisi di 2009 sudah 65 tahun ke atas. Konstitusi juga tidak memungkinkan presiden menjabat lebih dari dua periode, kecuali ada skenario internasional yang berkolaborasi dengan kepentingan pragmatis di dalam negeri demi mengokohkan hegemoninya. 

Persoalan ini akan menjadi sama lima tahun mendatang kalau peran cendekiawan dan pemimpin muda tidak melakukan gerakan apa pun mulai hari ini dan hanya menunggu siklus lima tahunan. Hanya orang yang mampu mengerakkan mesin politik, birokrasi, dan materi kuat saja yang bisa mengusung calon pemimpinnya untuk menang meskipun tanpa cita cita kebangsaan yang diperjuangkan. Karena itu, selagi fajar baru menyingsing dan masih cukup waktu untuk menanti matahari terbenam, marilah bekerja menyadarkan rakyat bahwa ada tantangan yang sangat berat dan membutuhkan kerja sama antara rakyat dan pemimpinnya. Rakyat perlu betul-betul memberikan dukungan terhadap proses lahirnya pemimpin masa depan yang religius nasionalis kerakyatan.

Di sisi lain, semua pemimpin yang memiliki kesadaran sama harus mempersiapkan diri, mengasah,
saling mendukung, dan rela menitipkan cita-citanya ke mereka yang lebih baik. Yang terpenting, cita cita kebangsaan bisa diwujudkan dan semua orang di Indonesia bisa merasakan cita-cita kemerdekaan.



Oleh : Sutta Dharmasaputra / KOMPAS, Sabtu, 14 November 2009

KUMPULAN ARTIKEL KOMPAS

Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia
    Apa jadinya jika anak-anak muda anonim pencetus sumpah pemuda bangkit dari kubur dan mendapati anak-anak muda sekarang saat bicara dan menulis lebih suka nginggris ketimbang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
    Siswa sekolah pun kini menempatkan bahasa Indonesia pada nomor urut sepatu, tidak lagi menjadi pelajaran favorit. Tidak favorit berarti tidak penting untuk dipelajari. Ini terbukti dari hasil ujian nasional (UN) tiga tahun terakhir terus menurun.
    Untuk SMP, nilai rata-rata UN Bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7,46, tahun 2007 menjadi 7,39, dan tahun 2008 menjadi 7,00. Untuk tingkat SMA Jurusan Bahasa, nilai rata-rata Bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7,40, kemudian 2007 turun 7,08, dan tahun 2008 menjadi 6,56. Hal yang sama terjadi untuk SMA Jurusan IPA dan IPS (Kompas, 1/11/2008).
    Tak hanya itu, kurang favoritnya bahasa Indonesia juga menyebabkan rendahnya minat siswa memilih jurusan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Akibatnya, jurusan Bahasa Indonesia di sejumlah perguruan tinggi kekurangan mahasiswa, bahkan ada yang terancam ditutup.
    Menekuni beberapa perangkaan di atas barangkali benar kalau ada yang mengatakan bahwa pesona bahasa Indonesia telah memudar dan tak lagi sakti. Kalah dengan bahasa asing, terutama Inggris dan Mandarin.
Guru bahasa dadakan
    Beberapa asnad (bukti) di atas juga memunculkan pertanyaan penting: faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pesona bahasa Indonesia pudar. Dan, upaya seperti apa yang harus dilakukan agar pesona itu hadir kembali.
        Berdasarkan pembacaan saya, ada tiga sebab. Pertama, tidak semua siswa mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia dari guru (sarjana) Bahasa Indonesia. Karena kurangnya jumlah pengajar, guru berkompetensi di luar rumpun bahasa, misalnya guru Olahraga, Fisika, atau Matematika terpaksa (dipaksa?) mengajar Bahasa Indonesia.
    Tak masalah jika guru dadakan itu tergolong seorang munsyi—komprehensi ganda antara seorang dan inklanasi kesukacitaan berbahasa Indonesia, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seorang yang tertantang menghasilkan bentuk bahasa tulis kreatif dalam identitas kepujanggaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya (Alif Danya Munsyi, 2005). Jika gurunya guru dadakan, hitung sendiri risiko ”kekacauan” (kognisi, afeksi, psikomotorik) keberbahasaan yang akan timbul.
    Oleh sebab itu, kalau memang secara kuantitas dan kualitas guru Bahasa Indonesia sudah mentok, menurut hemat saya, salah satu cara untuk mengatasi persoalan itu adalah dengan meminta para munsyi turun gelanggang, mengajar siswa dan guru.
    Kedua, tujuan penilaian kurang dipahami banyak pihak. Yang dikejar sekadar nilai akhir yang bersifat kuantitatif. Berbicara tentang bahasa tentu akan berkaitan dengan ekspresi/praktik bahasa (aspek kualitatif).
Dari segi praktik, bahasa mempunyai empat ranah penguasaan. Sesuai urutan tumbuh kembang manusia, yaitu aspek mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing).
    Mestinya siswa didorong mengaitkan apa yang mereka dapat dengan pengalaman mereka sendiri saat menghabiskan jejulur waktu kehidupan; di sekolah, rumah, maupun lingkungan pergaulan.
    ”Ketika siswa dapat mengaitkan dengan pengalaman sendiri, mereka menemukan makna dan makna memberi mereka alasan untuk belajar,” tulis ELaine B Johnson dalam Contextual Teaching and Learning.
Ketiga, bahasa Indonesia, ibarat produk, ia lebih sering ditawarkan secara inferior. Tidak dikemas bagus, tetapi ala kadarnya, monoton. Guru sebagai pemasar tidak mampu meyakinkan calon pembeli bahwa produk yang dibawanya itu penting dan penuh manfaat.
    Maka dari itu, perlu satu terobosan tentang bagaimana mengemas pembelajaran bahasa Indonesia agar menarik sehingga menerbitkan rasa cinta dan semangat belajar. Kalau cinta, para siswa akan memberikan perhatian tinggi.
    Terobosan baru, misalnya, dari aspek writing dapat memanfaatkan blog sebagai ruang kreatif siswa. Tabiat asli blog yang bersifat personal akan memampukan mereka menulis tentang apa pun yang mereka suka, sepanjang apa pun yang mereka mampu. Dalam ranah listening, reading, dan speaking, siswa juga secara langsung dapat dikenal dan sentuhkan pada dunia yang sangat erat kaitannya dengan bahasa Indonesia, yaitu dunia literasi (keberaksaraan). Lebih spesifik lagi adalah dunia perbukuan dan jurnalistik.
    Secara periodik pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas melalui kunjungan ke pameran buku, ke rumah para pengarang dan penulis, melibatkan diri dalam diskusi perbukuan, kunjungan ke media massa dan penerbit buku (wisata baca), dan lain sebagainya. Dengan begitu, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi hidup, dinamis, dan penuh kejutan-kejutan baru.

Oleh: AGUS M. IRKHAM Editor Paruh Waktu; Instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca