Senin, 08 November 2010

MENGELOLA KEBERAGAMAN INDONESIA

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #14
Zuly Qodir – Dosen, Pegiat dialog antaragama

Zuly Qodir 

Latar belakang pendidikan Islam tidak membelenggu pemikiran Zuly Qodir untuk memperjuangkan penghormatan keberagaman di Indonesia. Tenaga dan pemikirannya dicurahkan untuk meneliti penyebab konflik atau gesekan antaretnis yang kerap terjadi di negara ini. Aktivis muda Muhammadiyah itu pun terlibat dalam pembentukan Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta, sebuah forum lintas agama yang didirikan bulan Maret 1997.

Baginya, keberagaman etnis atau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan potensi luar biasa yang menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia. Keberagaman itu pulalah yang menjadi cikal bakal lahirnya Republik Indonesia.

Konflik terjadi bukan karena perbedaan SARA, melainkan lantaran kurangnya penghormatan negara. Negaralah yang justru menciptakan kesenjangan antaretnis dengan memprioritaskan etnis tertentu dalam segala bidang pembangunan.

Berikut petikan wawancara Kompas di rumahnya di Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (7/11).

Bagaimana gesekan antaretnis itu bisa terjadi?
Negara kita ini memiliki suku yang beragam, budaya beragam, tetapi selama bertahun-tahun tak mengalami perkembangan yang baik. Suku-suku, etnis, yang disebut SARA itu hanya dipakai untuk konsumsi politik rezim kekuasaan, terutama pada zaman Orde Baru. SARA hanya diterjemahkan menurut rezim kekuasaan.
Rezim Orde Baru merepresentasikan keberagaman dengan membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang sebenarnya tidak berkembang sama sekali. Tidak ada cermin keragaman budaya di situ, hanya artefak semata.

Kekayaan dari keberagaman SARA itu bahkan dibelenggu oleh negara sehingga yang muncul adalah pendaman-pendaman kekecewaan. Akibatnya, beberapa daerah ingin merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Lihat saja di Papua, Aceh, dan Riau, ada gerakan untuk merdeka. Itu bukti mereka kecewa terhadap penghormatan SARA di Indonesia. Penguasa tidak menghormati keberagaman itu dengan baik.

Mengapa negara tidak menghormati keberagaman?
Rezim penguasa selalu ketakutan dengan SARA, merasa bila keberagaman tiap-tiap daerah muncul akan membuat negara tidak dominan sehingga negara memilih untuk menyeragamkan semuanya.
Sepanjang Orde Baru negara telah melakukan teror terhadap mereka yang menentang keseragaman. Mereka yang dianggap menentang dan mengancam persatuan dipenjara atau dihilangkan mata pencariannya dan dijauhkan dari komunitasnya.

Sikap seperti itulah yang kemudian memunculkan antipati terhadap negara. Pada saat kondisi negara lemah, keberagaman yang sebelumnya menjadi potensi untuk mempersatukan bangsa berubah menjadi potensi negatif. Pendaman-pendaman kekecewaan terhadap negara itulah yang mengakibatkan konflik terjadi di mana-mana.

Apa akar permasalahan yang menyebabkan konflik?
Akar persoalannya adalah diskriminasi. Ada kesenjangan keadilan, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sebagainya.

Saya sudah berkeliling melihat daerah-daerah, kondisi infrastruktur memang jauh tertinggal dibanding Jawa. Di Papua itu jalanan belum dibangun dengan baik. Infrastruktur di daerah konflik, seperti Ambon dan Ternate, juga belum begitu baik.

Pembangunan bidang pendidikan juga masih ada kesenjangan. Fasilitas pendidikan di Jawa dengan di daerah-daerah terpencil serta pulau-pulau lain sangat berbeda. Tetapi, mengapa masalah kelulusan diseragamkan dengan menggunakan ujian nasional. Itu jelas-jelas tidak adil.

Apa yang harus dilakukan untuk meredam potensi konflik?
Etnis dan agama ini memang paling mudah untuk membangkitkan sentimen identitas. Agama berkaitan dengan keimanan, sedangkan etnis berkaitan dengan identitas kesukuan dalam masyarakat.

Orang akan sangat mudah marah bila disentil masalah keagamaan atau etnis. Kesenjangan atau diskriminasi semacam itu harus segera dihentikan. Masyarakat dari etnis apa pun, termasuk China, harus diberikan kesempatan yang sama dalam bidang politik, perekonomian, dan sebagainya.
Prinsipnya, keadilan harus benar-benar terjadi, baik keadilan politik, keadilan hukum, keadilan politik, dan juga pemerataan pembangunan.

Di bidang hukum, selama ini penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, masih tebang pilih. Ada kesenjangan antargolongan dalam penegakan hukum di Indonesia. Seharusnya hukum itu berlaku sama bagi siapa pun.

Kemudian soal agama dan kepercayaan. Negara tidak perlu terlalu banyak intervensi terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan. Biarlah urusan keagamaan itu diserahkan kepada tiap-tiap organisasi keagamaan. Kalau Islam, ya, serahkan saja kepada Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Nahdlatul Wathon, dan sebagainya. Kalau Kristen, ya, diserahkan kepada yang mumpuni, begitu pula Katolik diserahkan saja kepada lembaga-lembaga Katolik.

Negara harus memisahkan urusan pemerintahan dengan urusan agama. Sesat atau tidak sesat, itu bukan urusan negara. Tugas negara itu mengurus masalah pendidikan, kesejahteraan rakyat, dan penegakan hukum.

Lalu, bagaimana mengemas keberagaman agar tidak menjadi sumber konflik?
Keberagaman SARA harus dikelola sebagai kekayaan yang kondusif, dengan pemahaman inilah Indonesia yang sangat unik. Baik negara maupun masyarakat sendiri harus memahami serta menghormati perbedaan. Negara harus kembali pada filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Negara harus menghormati perbedaan suku, agama, ras, adat, bahasa, dan perbedaan lainnya. Yang menyatukan adalah bahasa nasional, bendera, lagu kebangsaan, dan sebagainya.

Pemerintah jangan menyeragamkan sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan atau potensi lokal. Seperti menyamaratakan makanan pokok tiap-tiap daerah. Orang Ambon biasa makan sagu, ya biarlah seperti itu.
Kemudian soal kebudayaan yang berkembang, jangan sampai ada klaim budaya yang beradab dan tidak beradab. Misalnya, ada orang Dayak, orang Samin, dan Baduy yang dianggap tak beradab. Pertanyaannya kemudian, siapa yang dianggap beradab? Ternyata yang dianggap beradab adalah mereka yang dekat dengan rezim kekuasaan.

Tidak sepantasanya suku adat tertentu dianggap tidak beradab karena tidak mengikuti pola pikir pemerintah. Mereka bukan tidak beradab, tetapi punya sistem nilai sendiri. Perbedaan sistem nilai itu harus dihormati agar tidak memicu konflik.

Soal agama, pemerintah tidak perlu membuat dikotomi, agama resmi ataupun agama tidak resmi. Dikotomi itu akan menimbulkan gesekan di masyarakat.

Bagaimana tidak, sempalan atau aliran dalam internal agama saja dianggap sesat. Orang berbeda pandangan dianggap sesat, orang berbeda pemikiran dianggap sesat.
S
elama ini negara tidak pernah tegas. Salah satu contohnya pada saat kelompok Ahmadiyah mengalami kekerasan karena dianggap sesat, pemerintah malah membiarkan. Kalau negara tidak bisa menghentikan sentimen yang terjadi akibat adanya perbedaan, keberagaman suku, agama, dan ras sebagai komponen pembangunan tidak akan ada lagi. Negara cukup menjamin seluruh warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut.

Oleh : Anita Yossihara / KOMPAS, Kamis, 12 November 2009

Tidak ada komentar: